Mediametafisika.com - Adalah Saimin (55) tokoh yang mengalami peristiwa langka ini. Pekerjaan sehari-hari lelaki ini hanya sebagai tukang kayu. Kepada Misteri ia berkisah, suatu hari ketika sedang asyik bekerja menyelesaikan meja dan kursi pesanan pelanggannya, tiba-tiba dari belakang ia merasakan ada sebuah pukulan keras di punggungnya. Anehnya, ketika ia menolah ternyata tidak ada apa-apa atau siapa-siapa. Ia benar-benar hanya bekerja seorang diri.
“Namun pukulan berikutnya terjadi hingga berulang-ulang!” kenang Saimin dengan mimik menegang.
Merasa penasaran, Saimin dengan lantang menantang sesuatu yang tidak kasat mata yang sudah memukul punggungnya berkali-kali itu, hingga ia merasakan sakit yang lumayan hebat.
“Kalau kau berani cepat perlihatkan dirimu!” tantang Saimin dengan kesal dan sambil menahan sakit.
“Sekonyong-konyong di depan saya berdiri dua sosok makluk yang sangat mengerikan, yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya kaget setengah mati. Dua sosok itu hampir wujudnya seperti manusia, namun badannya pendek. Mungkin hanya sekitar satu meter saja. Badan mereka gemuk, dan keduanya hanya memakai cawat yang terbuat dari kain perca. Kulitnya kemerah-merahan dan masing-masing membawa pentungan kayu mirip gada. Kepala mereka pelontos, tidak ada rambut walau sehelaipun. Pada kedua matanya yang melotot itu juga tidak ada bulu mata dan alis. Lubang hidungnya mendongak keatas seperti hidung babi dan besar sekali. Mungkin bisa dimasuki jempol kaki, saking lebarnyau. Bibirnya tebal dan berwarna kehitam-hitaman. Sedang gusinya yang menonjol itu hanya ditumbuhi gigi besar-besar, berwarna agak kekuning-kuningan,” cerita Saimin mengenang kejadian mistis yang pernah dialaminya..
Saimin yang tinggal di Dusun Gunung Gedeg RT 27 RW 05, Desa Tempursari, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang itu, saat bercerita mimiknya masih memperlihatkan ketakutan. Ini menandakan kalau ia masih trauma berat dengan peristiwa aneh yang dialaminya itu. Tak urung Giyem, istrinya, melarang Misteri untuk terus memberikan pertanyaan padanya seputar pengalaman tersebut.
“Saya khawatir kalau kejadian yang tidak masuk akal itu akan terulang kembali, Pak!” cetus perempuan luugu itu dengan nada khawatir.
Setelah dibujuk Misteri, dengan sedikit ragu dan khawatir, Giyem mengizinkan suaminya untuk meneruskan ceritanya dari awal hingga akhir.
Dikisahkan, semenjak remaja Saimin memang menekuni pekerjaan sebagai kuli bangunan dan tukang kayu. Kalau sedang menganggur atau tidak ada order menukang, ia kerap membantu bapaknya bertani di sawah.
Setelah menikah dengan Giyem, Saimin mencoba menjadi tukang kayu yang lebih professional lagi, yakni dengan melayani segala bentuk pesanan seperti meja, kursi, bufet, almari, daun pintu, daun jendela dan sejenisnya. Nah, kebetulan sekali pada suatu ketika, ia mendapat pesanan meja dan kursi dari seorang pelanmggan dari kota. Selama dua minggu ia kerjakan pesanan itu dengan salah seorang kerabatnya, yang bernama Sandi, yang kebetulan rumahnya dekat dengan rumah Saimin.
Pada hari yang naas itu, ia lupa tanggal dan harinya, yang jelas sekitar pukul 09.00 wib pada tahun 2006. Ketika Sandi belum datang karena masih pagi. Saimin sedang asyik memotong kayu dengan goloknya. Waktu itu, tiba-tiba terasa punggungnya dipukul seseorang dengan keras dari belakang.
Karuan saja Saimin menjerit kesakitan dan secara reflek langsung menoleh ke belakang. Semula ia mengira Sandi yang memukulnya. Namun setelah melihat ke belakang, ternyata tidak ada orang.
“Sialan, siapa yang memukulku, ya?” gerutu Saimin.
Setelah yakin tidak ada orang yang dicurigai, Saimin kembali meneruskan pekerjaannya. Namun, lima menit kemudian ia kembali menerima pukulan bertubi-tubi mendarat di punggungnya. Berulang kali pula Saimin mengaduh kesakitan.
“Makhluk apa yang menjahiliku ini?” geram Saimin dengan kesal. Ia mengumpat panjang pendek dengan sumpah serapah.
Siapa sang pemukul yang tidak kelihatan batang hidungnya itu? Sandi, teman kerjanya, juga Giyem, istrinya, yang baru datang karena mendengar aduhan Saimin juga ikut bingung dengan kejadian ini.
“Di sini tidak ada orang lain kecuali kita bertiga, Kang. Jadi siapa yang memukulmu sampai kau menerit kesakitan seperti itu?” tanya Giyem dengan cemas.
Saimin semakin geram. “Kalau memang kau lelaki sejati, tunjukkan wajahmu, biar aku bisa melihatmu,” tantang Saimin kemudian dengan suara lantang.
Aneh, sesuatu yang tidak masuk akal akhirnya terjadi siang hari bolong itu. Mungkin karena merasa ditantang, tiba-tiba dua makluk mengerikan itu menampakkan diri di depan Saimin. Walau ada kesemaan dengan manusia, namun wujud mereka sangat mengerikan. Anehnya, Sandi dan Giyem tidak melihat kedua sosok makhluk mengerikan ini.
Dengan tubuh sedikit gemetar, Saimin menanyai kedua makhluk itu, “Siapa kalian berdua ini. Ada kentingan apa sehingga kalian memukuli saya?”
Sialnya, kedua makhluk menyebalkan itu hanya menjawab dengan berkomat-kamit, sehingga Saimin tidak bisa menangkap arti ucapan mereka. Karena kesal, dengan memegang pethel (peralatan tukang sejenis rimbas yang tajam-Red) Saimin mencoba memberanikan diri menghalau kedua makluk itu agar secepatnya pergi dari hadapannya.
Namun, kedua sosok makhluk itu malah meledak Saimin dengan menjulur-julurkan lidahnya yang panjang dan berlendiri sangat menjijikan. Saimin yang sudah marah menyerang mereka denghan pethel di tangannya. Celakanya, ia justru dihajar habis-habisan dengan pentungan yang dibawa oleh kedua makhluk itu.
Sambil berulang kali menjerit kesakitan, Saimin masih berusaha melawan. Pethelnya disabetkan kesana kemari, tetapi tidak sekalipun mengenai tubuh kedua makhluk mengerikan itu.
Sementara itu, melihat Saimin yang kalap, Sandi dan Giyem hanya bingung melompong. Mereka tidak bisa menolong Saimin. Yang mereka tahu, Saimin mengaduh kesakitan dan terus menyabetkan pethel ke depan, atau ke samping dengan berkali-kali. Setelah sekian lama bertingkah demikian, tahu-tahu Saimin sudah ambruk tak sadarkan diri.
Ketika siuman, Saimin jelalatan seperti orang bangun dari mimpi. Tak berapa lama kemudian ia berubah seperti orang yang ketakutan, sehingga berulang kali menjerit-jerit.
Kondisi Saimin yang diserang penyakit aneh itu cukup mengundang perhatian. Tetangga kanan kiri rumahnya semua pada ngumpul untuk mewartakan apa yang telah terjadi. Sandi dan Giyem tidak bisa bercerita apa yang sesungguhnya menimpa Saimin. Hanya yang mereka tahu, Saimin menyabetkan pethel kesana kemari seperti akan membinasakan musuh, sambil berulang kali menjerit kesakitan. Mereka sendiri tidak bisa memberikan pertolongan karena mereka memang tidak dapat melihat kedua makhluk yang menyerang Saimin itu. Sampai kemudian Saimin ambruk.
Sampai seminggu kemudian Saimin masih merasakan sakit akibat pukulan kedua makhluk dari alam kegelapan itu. Lebih celaka lagi, kedua sosok makluk mengerikan itu masih kerap datang dan menebar teror, seolah ingin membinasakan Saimin yang sudah tak berdaya dan hanya bisa terkapar di atas ranjang.
Setiap kedua makhluk itu datang, meski banyak orang yang sedang menemnani Saimin, namun tak satu pun dari orang-orang itu yang melihat keberadaan kedua makhluk tersebut. Mereka pun selalu mengancam Saimin dengan pentungan di tangannya.
Pembesuk Saimin banyak yang takut dan bingung lantaran Saimin selalu menjerit-jerit minta tolong, atau bahkan sesekali menyembunyikan wajahnya dengan kain sarung. Ia benar-benar ketakutan melihat penampakkan kedua makhluk tersebut.
Untuk menyembuhkannya, di hari kesepuluh keluarganya mendatangkan seorang sesepuh yang konon mengerti akan hal-hal yang berhubungan dengan dunia makluk halus. Dari terawangan orang tua ini, disebutkan bahwa kedua sosok makhluk halus yang menghajar Saimin itu adalah tuyul yang beberapa bulan silam mencuri uang di rumah Saimin dan dihalau dengan kekerasan oleh Saimin. Ketika itu, Saimin merasa kehilangan sedikit uang dan ia minta tolong pada orang pintar untuk mengusir tuyul. Di empat penjuru rumah Saimin kemudian ditanami tumbal agar tuyul tidak berani datang lagi.
Benar juga, di suatu malam ada suara gaduh seperti orang dipukuli bertubi-tubi. Begitu Saimin keluar ingin melihat apa yang terjadi, suara itu lenyap ditelan kesunyian malam.
“Mungkin tuyul itu datang lagi mau balas dendam karena dia sudah dihajar oleh kodham tumbal yang ditanam di rumahku ini,” ungkap Saimin di sela ceritanya kepada Misteri.
Apa yang kemudian dilakukan untuk menyembuhkan Saimin?
Saran dari sesepuh yang didatangkan itu, Saimin bisa lepas dari gangguan kedua tuyul tersebut dengan cara minum jampi-jampi. Jampi-jampi itu berupa sedikit tanah kuburan, kunir empu, gula batu dan dicampur dengan arang kayu nisannya orang mati. Untuk mengambil nisan kayu, cukup secuil saja. Dengan catatan, nisan orang mati yang digunakan sebelumnya belum pernah dikenal oleh Saimin semasa hidupnya. Maka oleh karena itu dipilihlah mengambil cuilan nisan orang mati yang berada di sebuah tanah kuburan yang ada di desa tetangga, yang jaraknya sekitar duapuluh kilometer jauhnya dari desa tempat tinggal Saimin.
Sandi, sang keponakan, dengan ditemani tiga orang lainnya, pada suatu malam pergi kesebuah kuburan yang sudah ditunjuk oleh orang tua tersebut, untuk mengambil secuil kayu nisan itu.
Setelah mendapatkan secuil nisan itu lantas kayu tersebut dibakar agar menjadi arang. Arangnya kemudian ditumbuk halus dan dicampur dengan ubarampe jampi-jampi yang lainnya. Begitu segala sesuatunya telah selesai, maka sesegera mungkin jampi-jampi itu disuguhkan pada Saimin dan segera pula harus diminumnya.
Dua hari setelah minum jampi-jampi itu, Saimin agaknya merasa aman, karena sudah dua malam itu pula para tuyul tidak datang lagi menerornya. Beberapa tetangga yang awalnya setiap malam membezuk dan menemani keluarga Giyem, sudah surut dan bahkan sudah tidak ada lagi yang datang menjenguk Saimin. Mereka semua sudah percaya bila Saimin sudah waras berkat ramuan jampi-jampi dengan sarana utama nisannya orang mati itu.
Namun apa lacur. Seminggu berikutnya ketika Saimin mengikuti amalan rutin pembacaan tahlil dan Yasinan di rumah tetangganya, semua yang hadir dibuat bingung tidak karuan. Ya, bagaimana tidak? Di tengah-tengah kekhusyukan semua orang membaca Yaa Siin, tiba-tiba Saimin yang tadinya tenang mendadak jadi kalap. Berulang kali ia mengaduh kesakitan. Terkadang ia berdiri dengan gerakan seolah ingin menangkis pukulan, dan kadang ia duduk seolah tak kuat lagi menahan pukulan yang datang bertubi-tubi mendera tubuhnya. Tangannya juga kerap mendoro atau menahan, seperti menghalau sesuatu. Puncaknya, mata Saimin medelik hingga kelihatan bagian yang putihnya saja.
Melihat keadaan Saiman, para jamaah tahlil yang jumlahnya puluhan orang itu kebingungan untuk menolongnya, sebab mereka memang tidak dapat melihat dua makhluk menyeramkan yang menyerang Saimin. Bahkan, kegiatan pembacaan Yaa Siin pun terpaksa dihentikan. Para hadirin semuanya minggir menyaksikan Saimin yang seolah tengah berperang dengan makluk yang tidak kasat mata.
Sekitar lima menit Saimin berperilaku seperti orang kalap. Lantas dengan nafas ngos-ngosan dan mata mendelik, Saimin akhirnya ambruk di atas tkar yang digelar untuk tahlil.
Setelah melihat Saimin jatuh pingsan, semua orang pun langsung mengerubunginya. Beberapa di antara mereka berusaha menyadarkan Saimin dari pingsannya. Salah satunya ada yang memberi air putih yang sudah diberi jampi-jampi berupa bacaan ayat Kursy.
Kira-kira sepuluh menit kemudian, Saimin baru siuman, dan matanya langsung jelalatan. Ia nampak masih sangat ketakutan, dan nafasnya juga ngos-ngosan.
Beberapa orang jamaah mencoba bertanya, apa gerangan yang baru di alami Saimin. Setelah agak tenang, Saimin mulai bercerita, ketika mereka tengah asyik membaca Yaa Siin tadi, tiba-tiba ada sosok kepala tanpa tubuh datang dan jatuh persis di pangkuannya. Karuan saja Saimin langsung ketakutan. Apalagi ketika mulut kepala itu dapat berbicara, dan dia minta akan cuilan nisannnya yang sudah diambil oleh keluarga Saimin dikembalikan lagi. Kalau tidak, semua keluarga Saimin akan dibinasakan.
Jawaban Saimin ketika itu pula, dikatakan bahwa nisan itu sudah dibakar dan menjadi arang. Merasa tidak terima dengan ucapan Saimin, sosok kepala itu menyerang Saimin dengan berputar-putar di udara, dan sesekali menyambar Saimin yang ketakutan.
“Sebenarnya saya sudah menawarkan untuk berdamai. Ketika potongan kepala itu ngotot agar saya secepatnya mengembalikan cuilan kayu pusaranya, saya sudah berjanji akan menggantinya dengan nisan kayu jati pilihan, dan saya akan mengirim bunga di makam itu. Sosok kepala yang berbau amis dan mengucurkan darah r itu justru melayang-layang dan sesekali mengenai kepala saya. Merasa aku kalah, aku mengaduh kesakitan dan semua jama’ah yang ada tidak ada yang menolongku, karena mereka memang tidak tahu apa yang terjadi atas diriku,” cerita Saiman yang sempat membuat Misteri ikut tegang mendengarnya.
Serangan potongan kepala misterius itu berulang sampai tiga kali.
“Kali kedua pas keluargaku ngumpul di rumah dan makan bersama. Ketiga, pas aku di sawah mengerjakan sawah untuk bertani. Sosok kepala itu selalu menerorku untuk segera mengembalikan cuilan pusaranya,” ungkap Saimin lagi sambil menoleh kanan kiri seperti ketakutan akan terulang lagi musibah menyeramkan itu.
Dikisahkan, kedatangan sosok kepala tanpa tubuh di sawah itu sangat membuat bingung beberapa orang yang sedang sama-sama bekerja di sawahnya masing-masing. Betapoa tidak! Mereka menyaksikan sendiri Saimin seolah bergelut dengan sesuatu yang tidak terlihat. Ia menangkis ke kanan dan ke kiri, atau jungkir balik di lumpur, dan bahkan kakinya juga menendang ke depan dan samping. Begitu Saimin reda dari gerakannya yang penuh misteri itu, semua petani lain pada mendekatinya. Dibantu teman-temannya, Saimin dibawa ke sebuah belik kecil untuk mandi agar bersih dari lumpur yang menempel di sekujur tubuhnya.
Karena kejadian ini terus berulang, Samin bersama Giyem, isterinya, menemui seorang Kyai untuk meminta bantuan agar godaan setan itu segera sirna. Disarankan oleh Kyai itu agar segera mengganti nisan dimakam orang yang telah dicurinya, serta membawa sego anget berupa nasi uduk dan ingkung (ayam panggang), lalu meminta maaf atas kelancangannya telah mencuri secuil nisan tersebut.
Dengan disertai Kyai itu, semua peralatan dibawa ke makam orang yang nisannya seserpih kayu nisannya telah dicuri untuk media jampi-jampi. Oleh Kyai semua kesalahan keluarga Saimin diutarakan dan dimintakan maaf kepada arwah yang ada di dalam kubur. Diundang pula beberapa warga terdekat dengan lokasi makam itu untuk ikut menjadi saksi dan kenduri sego anget.
Semua yang mendengar cerita Saimin, mengapa jauh-jauh datang kemakam tua itu dan akibat yang diderita Saimin, pada geleng-geleng kepala, pertanda heran. Mengapa Saimin juga nekat mencuil nisan itu untuk jampi-jampi? Dan mengapa pula hanya karena seserpih baru nisan di curi sosok arwahorang mati yang punya nisan itu harus meneror Saimin? Wallaahu A’lamu Bissowab…!