Mediametafisika - Untuk menghindari serangan gaib, sepasang tanduk rusa jantan ditanam sebagai tumbal. Tak disangka, tumbal ini bisa mempersulit perjodohan....
Banyak kolektor awetan binatang memajang rusa jantan di dinding rumahnya. Salah satu maksudnya mungkin agar terkesan estetik dan berwibawa. Tapi tahukan Anda, menurut beberapa ahli tata letak bangunan atau Feng Shui, bila kepala rusa jantan itu di hadapkan ke dalam rumah, maka akan mengakibatkan pemilik rumah akan sering sakit-sakitan, bahkan bisa meninggal dunia.
Mengapa bisa demikian? Dikatakan, sengatan aura tanduk rusa yang tajam itu dianggap "Sar-Chi" atau "panah mematikan." Lalu bagaimana jika tanduk rusa jantan ini digunakan untuk tumbal?
Diketahui, sekitar tahun 70-an, banyak perwira militer yang setelah memasuki masa pensiun, dikaryakan sebagai pamong praja di desa-desa tertentu, sebab kondisi negeri yang masih belum stabil dan aman.
Para eks militer yang rata-rata memiliki ketegasan dan punya wibawa itu dianggap mampu menjadi pengayom masyarakat. Kebetulan juga banyak masyarakat yang merasa tenteram di bawah lindungan mereka.
Begitulah dengan yang terjadi pada Pak Walido. Sebagai anggota TNI AD dia dipercaya menjabat sebagai Kepala Desa (Pak Polo) di sebuah desa yang terletak di wilayah Kabupaten Sragen.
Sebagai mana umumnya desa-desa di Tanah Jawa, bahkan di wilayah kepuluan Nusantara lainnya, sampai sekarang tak dipungkiri kalau hal mistis masih tetap tumbuh dengan suburnya. Apalagi kalau sudah memasuki dimensi wilayah kekuasaan, seperti halnya Kades. banyak orang yang iri ingin merebut dengan berbagai cara, termasuk dengan menggunakan ilmu gaib.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pak Walido berinisiatif untuk membuat benteng gaib di lingkungan kantor desa tempatnya bertugas. Maksudnya agar dia terhindar dari segala marabahaya. Sesuai dengan rencananya, waktu itu dia pun mendatangi guru spiritual yang tinggal di lereng Gunung Merapi.
Orang-orang yang hidup di lereng gunung memang dianggap memiliki kemampuan spiritual yang cukup tinggi, karena diyakini bisa berdialog dengan alam. Hal ini tertuang dalam konsep pemahaman hidup Trihista Karana (alam-manusia-Tuhan). Mereka yang dapat berdialog dengan alam, maka dianggap bisa berdialog dengan Tuhannya. Dan salah satu yang dianggap memiliki kemampuan tersebut adalah Mbah Gepeng Wicaksono.
Spiritualis tua inilah yang sejak Pak Walido masih aktif bertugas di dinas kemiliteran selalu menjadi tempat curhat-nya. Bahkan semasa ditugaskan Timor-Timur untuk pertama kali, Pak Walido dibekali sipat kandel berupa Kol Buntet dan Cundrik Singkir. Beberapa kali tubuhnya tersambar peluru, namun hanya lecet saja.
Makanya, setelah Pak Walido menjabat kepala desa, dan merasa kedudukannya banyak yang mengancam, dia pun kembali mendatangi Mbah Gepeng Wicaksono untuk memecahkan masalahnya.
"Memang, Le, semakin tinggi jabatan itu makin banyak cobaan hidup," jelas Mbah Gepeng.
"Lha, sebaiknya Nanda menggunakan cara apa, Mbah. Agar jabatan saya tidak ada yang menjahili. Kalau bersaing secara jantan dan terbuka saya malah suka, Mbah. Tapi ini kan urusannya lain," kata Walido mengutarakan hal yang dirisaukannya.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Mbah Gepeng menyarankan agar di pintu masuk gapura Balai Desa diberi tumbal berupa tanduk rusa jantan.
"Apa fungsi tanduk itu, Mbah?" Tanya Walido, heran.
"Selain melindungi jabatan kamu dari bahaya yang tak diinginkan, juga anak-anakmu akan dilindungi semua keselamatannya oleh khodam yang menghuni tanduk rusa jantan itu," jelas Mbah Gepeng.
Walido tak banyak tanya lagi. Dia pun bersedia mengikuti saran Mbah Gepeng. Akhirnya, saat itu di malam anggoro kasih (Selasa Kliwon), prosesi penanaman tumbal tanduk rusa jantan itu dilakukan. Selain kepala rusa yang ditanam di depan gapura yang sebelumnya dimandikan dengan darah ayam cemani terlebih dahulu, di pojok Balai Desa juga ditanami telur ayam cemani dan telur angsa yang kemlekeren (tak jadi/wurung).
Memang, ritual ini terbukti ampuh. Sejak diadakan penumbalan itu, hampir tak ada gangguan yang berarti sama sekali. Karier Pak Walido mulus dan anak-anaknya yang berjumlah 7 orang semuanya dapat mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan setelah lulus, anak-anak Pak Walido itu langsung dapat pekerjaan sebagai PNS. Sebagai ayah tentu saja Pak Walido merasa bangga. Tiga orang anaknya menjadi PNS dengan posisi yang cukup tinggi, sementara ke 4 anaknya yang lain masih merintis di bangku pendidikan.
Namun, petaka itu akhirnya datang juga setelah Pak Walido wafat. Saat akan meninggal dia tidak berpesan apapun pada putera-puterinya. Bahkan isterinya, Ibu Cempluk Pollena pun tak diberi tahu prihal penanaman tanduk rusa jantan itu.
Pergeseran hidup keluarga almarhum Walido pun mulai berlangsung secara perlahan. Dari kemakmuran sedikit demi sedikit mulai terlihat penurunan drastis. Apalagi setelah Balai Desa diduduki Kepala Desa baru, dan rumah dinas ototmatis dihuni pejabat baru pula.
Waktu terus bergulir. Meski putera ke-4 hingga yang paling bontot sudah lulus perguruan tinggi, namun mereka mulai kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Untuk menemukan pasangan hidup pun banyak mengalami kendala. Padahal wajah mereka di atas rata-rata. Berbagai prosesi ritual dari ruwat hingga ruqiyah, juga datang ketempat-tempat yang dikeramatkan yang katanya memiliki tuah untuk perjodohan pun telah dilakukan. Tapi hasilnya nihil. Ada apa dengan semua ini?
Terlihat jelas keputusasaan menggelayut hitam di wajah mereka. Hingga akhirnya putera ke-4 Pak Walido main ke rumah sahabatnya di Sokaati, yang bernama Dalimen. Secara tak sadar, Hasto Broto menceritakan semua yang terjadi pada keluarganya.
"Begini saja, Has, aku kan punya warisan tombak pusaka dari leluhurku yang biasa disebut Kyai Cacing Kanil Regol. Coba saja pusaka itu kamu bawa ke rumah," kata Dalimen.
"Terus aku apakan pusaka itu?" Tanya Hasto Broto.
"Menurut leluhurku, pusaka Kyai Cacing Kanil Regol ini memiliki fungsi sebagai antena gaib peristiwa masa lalu dengan yang terjadi sekarang ini. Siapa tahu ada kilas balik peristiwa yang mungkin jawabannya apa yang selama ini kamu cari." Papar Dalimen.
"Lalu bagaimana caranya?" Hasto Broto penasaran.
Akhirnya Dalimen, pemuda desa itu menjelaskan prosesi ritual penggunaan pusaka tersebut, yang konon oleh leluhurnya sering digunakan untuk sarana awal ruwatan.
"Kamu cari air sungai yang bertemu ruasnya (arus). Malam Jum'at taruh di bawah tempat tidurmu. Pusaka ini kamu minyaki dengan minyak Misik Jafaron dan diberi bunga liman. Terus kamu tidur," jelas Dalimen lagi.
Pusaka berupa tombak bernama Kyai Cacing Kanil Regol itu akhirnya dibawa ke rumah Hasto Broto. Singkat cerita, setelah tiba malam Jum'at semua petunjuk dari Dalimen dilaksanakan.
Malam itu Hasto Broto baru bisa tidur setelah jam dua belas malam. Saat tertidur itulah dia didatangi sosok hitam sangat besar dan menakutkan, dan satunya adalah sosok seperti mumi.
Kedua sosok gaib menyeramkan itu menyerang Hasto dan ketiga adiknya. Dalam mimpi itu, Hasto dan adik-adiknya berada di rumah lamanya, yakni di rumah dinas yang dulu pernah ditempati oleh keluarga mereka semasa almarhum ayahnya masih menjabat sebagai Kades.
Saat dikejar kedua makhluk halus itu, mereka berempat masuk gapura Balai Desa. Anehnya, sosok hitam dan mumi itu terpental setiap mau masuk gapura Balai Desa. Mengapa? Sebab secara aneh dari dalam tanah keluar tanduk rusa emas yang memancar dan membentuk garis sinar melingkupi wilayah Balai Desa.
Dua sosok gaib itu akhirnya menyerah kalah, namun tetap menunggu di depan gapura, dengan posisi agak jauh. Setelah peristiwa itu, silih berganti muncul sosok laki-laki muda dan perempuan muda yang datang silih berganti.
Anehnya, sosok itu seperti dikenali Hasto Broto. Ada bekas mantan pacarnya dan mantan pacar adik-adiknya. Namun setiap mau mendekati mereka, terhadang oleh tanduk rusa yang bercahaya keemasan. Mereka ketakutan dan menangis pergi.
Kepergian mereka justru disambut oleh tawa tergelak-gelak dua sosok gaib yang sebelumnya mengejar-ngejar Hasto Broto dan ketiga adiknya. Suara tawanya begitu menakutkan, hingga Hasto pun terjaga dari tidurnya.
Saat Hasto terbangun, belum sempat hilang rasa keheranannya itu, tiba-tiba dia merasakan hawa panas yang mengitari tubuhnya begitu kuat. Sesaat kemudian hawa itu hilang.
Peristiwa itu diceritakan Hasto pada sahabatnya, Dalimen, dari A sampai Z. Dan menurut penjelasan Dalimen yang mengerti sedikit ilmu kebatinan dikatakan, "Dua hantu itulah yang oleh orang-orang kebatinan disebut sengkolo. Sedang sosok laki dan wanita mantan pacar kamu dan adik-adikmu itu tak berani mendekat karena terhalang oleh tumbal."
"Tumbal tanduk rusa itu?" Tanya Hasto, menduga-duga.
"Benar sekali! Karena yang memasangnya sudah meninggal dan tumbal itu berkekuatan khodam, maka seakan dia itu ibarat hewan peliharaan yang menjadi liar. Karena tak ada yang merawatnya lagi, sehingga tak tahu dan tak dapat membedakan siapa musuh dan bukan, keturunan tuannya atau bukan. Sebagai akibatnya perjodohan kalian menjadi berat. Begitu menurut analisaku," papar Dalimen panjang lebar.
"Terus bagaimana cara mengatasinya, Men?" Hasto Broto gusar sekali.
"Kamu harus menggali tanah di mana tanduk rusa itu dulu di tanam oleh almarhum ayahmu," saran Dalinem.
"Kalau sudah hancur jadi tanah bagaimana?"
"Dikira-kira saja, ambil tanah itu buat gelu (bulatan) sebanyak tujuh butiran. Bungkus dengan mori masing-masing tujuah buah. Lalu labuh di laut, biar ternetralisirkan. Mudah-mudahan dengan cara ini kamu dan adik-adikmu segera menemukan jodoh masing-masing," jelas Dalimen lagi.
Atas petunjuk Ibunya, Campluk Pollena, Hasto dan adik-adiknya akhirnya dimana dulu tanduk rusa itu di tanam oleh almarhum ayah mereka. Beruntung sekali, sebab setelah digali ternyata masih ada sisa-sisa tanduk rusa jantan tersebut. Serpihan tulang itu segera dibungkus beserta tanahnya, dan dibuat menjadi tujuh gumpalan, lalu dibungkus dengan kain mori dan segera dibuang ke pantai Parangtritis, Yogyakarta.
Setelah satu tahun sejak peristiwa itu, Hasto akhirnya menikah dengan Linawati, pemilik salon di daerah Ngawi. Tertaari Unggul Pawenang, adiknya, dapat jodoh pemuda asal Kudus yang bekerja di perusahaan ekspor kayu.
Sementara itu, Zain Al Fateh kawin dengan janda ayu yang buka toko kelontong. Yang paling bontot, Wening Wenang Purba Amisesa, saat ini sedang menjalin hubungan serius dengan seorang pengusaha.
Dari cermin peristiwa yang menimpa keluarga ini, seharusnya kita tidak gegabah dalam melakukan sesuatu, apalagi yang berbau gaib, yang tidak kita pahami secara mendetail. Sebab kadang akibat yang tak disadari bisa begitu fatal hingga keanak turunan kita.
Yang paling bijak adalah mempertebal iman pada Sang Pencipta dan berserah diri hanya padaNya. Semoga kisah kecil ini ada hikmah yang bisa dipetik. Amin!