Mediametafisika - Rahasia ahli kitab yang mampu memindahkah kursi Ratu Bilkis sebagaimana di kisahkan Al qur an hingga kini masih merupakan misteri.
Menimbulkan tanda tanya besar dan spekulasi tersendiri bagi kalangan umat Islam. Apakah ilmu tersebut hanya dongengan saja ?. Ataukah ilmu tersebut masih bertahan hingga kini.
Batasan Ilmu Laduni
Sahabat pembaca mediametafisika, Ilmu Laduni adalah sebuah keniscayaan, ilmu yang sebaiknya dimiliki oleh umat Islam. Apakah terlalu berlebihan statemen ini. Rasanya tidak. Seseorang yang telah memiliki iman dalam hatinya dan dia bertakwa kepada Allah, akan dengan sendirinya memiliki ilmu ini. Inilah keniscayaan yang saya maksudkan. Pengetahuan akan penyingkapan hati, pengetahuan kasyaf , kemampuan seseorang dalam mengenali daya yang bekerja pada dirinya, adalah sebuah kemampuan yang layak dimiliki.
Menjadi pertanyaan dalam kajian-kajian terdahulu, bagaimana kita mampu mengenali sebuah daya yang bekerja pada diri kita adalah benar daya Allah, bukannya daya yang berasal dariproses induksi. Inilah pertanyaan kita selalu. Keyakinan bahwa daya yang bekerja pada diri kita adalah daya Allah, adalah sebuah keniscayaan yang seharusnya dimiliki oleh kaum muslimin.
Sayangnya, mengenali sebuah daya dan kemudian menetapinya sebagai daya dari Allah adalah sebuah persoalan tersendiri bagi umat Islam. Mereka selalu merasa sudah benar dalam penyembahan mereka, mereka enggan masuk ke dalam hatinya masing-masing mempertanyakan hal ini. Mereka dan kita semua sering tidak mau mempersoalankan lagi apakah daya yang kita pergunakan adalah benar daya Allah atau bukan.
Sudah mampukah kita meniadakan daya-daya lain yang mencoba memperngaruhi diri kita dan berkata dengan yakin bahwa tiada daya upaya selain (daya) Allah. Tanpa keyakinan yang benar, maka sesungguhnya kita tidak akan mampu mengatakan hal ini. Kita akan mengalami keraguan dan keraguan terus. Semua dalam kesulitan (ketika) saat ber ikhsan. Hakekat bahwa Allah melihat kita, dan hakekat bahwa (seakan akan) kita melihat Allah. Inilah salah satu sebab mengapa umat muslim Indonesia mengalami kemrosotan akhlak yang akut.
Sebab ketika kita sudah yakin dan mampu mengenali daya tersebut, maka tenanglah hati dan jiwa kita. Inilah system bekerjanya ketubuhan kita. Bagaimana mengenali daya tersebut jika kita tidak memiliki pengetahuan atas ini ?. Maka dengan ilmu (kasyaf) inilah diharapkan manusia akan dapat mengenali daya tersebut dan kemudian yakin atas ini. Pengetahuan ini bukanlah datang secara tiba-tiba, seseorang harus melakukan perjalanan sendiri-sendiri.
Pengetahuan ini bukan datang dengan cara membaca, ataupun belajar dari seorang guru. Pengetahuan ini langsung diajarkan oleh Allah kepadanya. Maka seseorang yang menginginkan pengetahuan ini wajib melakukan perjalanan rohani, sampai nantinya Allah akan menunjukan jalan kepada-Nya.
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (jihad) untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. “ (QS. Al Ankabut : 69)
Inilah janji Allah, maka saya katakan bahwa Ilmu Laduni adalah sebuah keniscayaan saja. Yaitu bagi setiap muslim yang mencari keridhaan Allah dengan sungguh-sungguh maka kepadanya akan ditunjukkan jalan ini. Sebab dengan Ilmu ini dia akan mampu mengenali daya, dia akan mampu mengenali dualitas rasa, dia kemudian akan mengenali jalan-jalan-Nya. Inilah keniscayaan berikutnya, membedakan rasa-rasa di jiwa, yaitu sebuah efek sensasi rasa yang ditimbulkan oleh sebagai akibat penyembahan diri kita, apakah kepada Allah atau kepada selain Allah. Dirinya akan mengenali rasa tersebut, membedakannya, sehingga kemudian dia mampu melakukan koreksi dan bertobat, meluruskan kembali niatnya, jika kita salah dalam penyembahan diri kita.
Dengan ilmu ini (kasyaf) dia akan mampu menghadapkan dirinya dengan keyakinan yang benar kepada Tuhan (Allah) Yang maha Esa bukan kepada Tuhan yang sebatas dalam persepsi saja, bukan kepada Hantu yang malah dianggapnya sebagai Tuhan. Semua akan diketahuinya melalui penyingkapan hati, melalui sensasi rasa yang tak sama. Akan ada efek dualitas rasa yang akan mampu dikenal dengan baik, sehingga dirinya tidak dibingungkan lagi oleh sensasi dualitas rasa tersebut.
Saya ingin memisahkan pemahaman saya dengan pemahaman bahwa Ilmu Laduni atau Ilmu Hikmah adalah sebuah ilmu yang dimaksudkan dan identik dengan kemampauan seseorang yang memilikii karomah, supranatural, atau kesaktian-kesaktian lainnya. Bukan itu yang saya maksudkan. Bukan atas pemahaman itu, kajian ini dituliskan dan bukan maksud dari kajian ini ke arah sana.
Saya akan membatasi pemahaman bahwa Ilmu Laduni , menurut pendapat saya adalah sebuah ilmu mengenali rahsa (dzauq), menyingkap hati, dan mengenal daya (kasyah) di dalam diri manusia sendiri. Ilmu yang akan mampu menyingkap hakekat diri manusia itu sendiri. Sehingga manusia akan mampu mengenali dirinya sendiri.
Ilmu Laduni adalah ilmu yang sangat spesifik dan unik. Setiap manusia akan diberikan ilmu ini, namun sayangnya ilmu ini hanya bisa digunakan untuk dirinya sendiri saja. Inilah pemahaman saya, sehingga ilmu ini tidak mungkin dapat diajarkan kepada lainnya. Dia hanya bisa menggunakan ilmu tersebut hanya untuk mengenali dirinya sendiri, mengenali lintasan hati dan penyingkapannya. Maka berhati-hatilah kepada orang yang mengatakan memiliki ilmu ini dan mengatakan mampu mengajarkan Ilmu Laduni ini. Dalam pemahaman saya Ilmu Laduni bukanlah sebuah ilmu tentang kesaktian manusia, ilmu ini adalah sebuah ilmu hikmah.
Hikmah apa yang perlu diketahui seseorang atas sesuatu hal, maka hanya Allah dan dia saja yang tahu. Allah Maha Tahu, yang akan menyingkapkan rahasia hikmah apa saja untuk dirinya. Hikmah yang hanya pas untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain. Hanya dia sendiri yang akan memetik hikmah pelajarannya. Maka pengajaran seperti apa, kurikulum yang mana yang akan pas untuk setiap manusia, hanya Allah yang tahu. Maka hubungan belajar dan mengajar ini sangatlah spesifik sifatnya dan ‘privat’ sekali.
Mengenali rahsa (dzauq), mengenali daya (kasyaf), Ilmu yang mampu meyingkap rahasia hati, sehingga dengan ilmu ini seseorang akan memiliki keyakinan yang tidak akan menyisakan ruang bagi keraguan sedikitpun. Karena telah terbukanya hijab dan penyingkapan hati. Inilah hakekat dan batasan Ilmu Laduni yang saya maksudkan.
Dengan ilmu inilah seorang muslim akan dapat memahami hikmah dam hakekat kebenaran itu sendiri. Sehingga dia tidak akan dibingungkan lagi dengan versi kebenaran kelompok lainnya. Jikalau dalam penyingkapan hikmah, seseorang kemudian di pahamkan melalui cara-cara yang di luar nalar dan logika, (sehingga manusia menganggap sebagai karomah) itu sifatnya hanya individualistis, dan karena semua terserah kepada Allah bagaimana memberikan pengajaran.
Pengajaran dalam mengenali daya, memang kadang sangat mempesona. Hampir semua yang penulis kenal yang sedang belajar hal ini tiba-tiba memiliki kemampuan yang tidak biasa. Kadang bisa memberhentikan hujan, memberhentikan dan membalikan arah angin, dan juga kemampuan supranatural lainnya. Banyak diantaranya yang kemudian mampu menyembuhkan penyakit non medis, yang di sebabkan makhluk ghaib, dan lain sebagainya. Tersingkapnya hijab hati akan menyingkapkan ke ghaiban inilah konsekwensinya, maka dia akan mampu berkomunikasi dengan makhluk ghaib, dan mengenali kesadaran-kesadaran lainnya, mengenal dari rahsa di jiwa.
Dirinya akan senantiasa di hadapkan kepada dua dunia, beserta dimensi-dimensinya. Dirinya dibenturkan kepada sebuah fakta untuk memaknai manakah yang sebenarnya Realitas dan manakah yang Ghaib. Dualitas rasa dalam kesadarannya. Karena semua menjadi seakan-akan sama saja. Tinggal dia mau memaknai seperti apa keadaannya dan sebagai apa. Apakah akan memaknainya sebagai hal ghaib ataukah sebagai realitas alam semesta saja, suatu kewajaran. Sungguh mempesona. Namun hakekatnya itu hanyalah pembelajaran saja kepadanya. Dia sedang diajarkan pelajaran mengenai daya yang sedang bekerja, daya yang bekerja di alam dan dalam tubuh manusia itu sendiri. Diajarkan siapakah dirinya, hakekat dirinya sendiri, hakekat tentang AKU.
Maka celakalah orang yang kemudian mengaku-aku memiliki daya ini. Celakalah orang yang mengaku aku memiliki Ilmu Laduni ini. Kemudian menganggul-anggulkannya, sebagai kesaktian, sebagai karomah, atau lainnya. Karena hakekatnya ilmu ini berada di antara ada dan tiada, hikmah diantara realitas dan ghaib. Semua milik Allah. Hasil yang benar jika seseorang memiliki ilmu ini adalah kebalikannya, dia akan menjadi merasa tidak memiliki ilmu sama sekali. Seseorang justru akan merasa tidak memiliki daya sama sekali, setelah belajar dan memahami hakekat ilmu ini. Inilah keanehannya.
Semua tergantung rahmat Allah semata. Dia hanya menggantungkan hidupnya dari kemurahan Allah, yang akan memberikan daya kepadanya atau tidak. Inilah hakekat hasil pembelajaran Ilmu Laduni. Ilmu ini ada namun menjadi tiada, karena hakekatnya adalah kita kemudian meniadakan ilmu ini sendiri. Ilmu ini berada dalam kesadaran realitas dan keghaiban itu sendiri.
Karenanya kita akan kesulitan jika mencari orang yang benar-benar memiliki ilmu ini, karena dia akan tersembunyi diantara manusia lainnya. Jika tersingkapkan, Ilmu ini menurutnya, hanya akan menjadi aib nya saja nanti. Begitu takutnya dia kepada Allah, takut menjadi riya’ jika dirinya diketahui. Maka keberadaan orang-orang ini nyaris terabaikan, mungkin saja ada diantara kita semua, namun kita tidak tahu. Ciri-ciri seorang muslim sejati ada pada dirinya. Itulah tanda-tandanya.
Ini adalah ilmu ketiadaan, meniadakan daya upaya kita, dia hanya bisa pasrah menggantungkan dirinya atas daya yang diberikan Allah. Dia benar-benar merasa menjadi manusia yang tidak punya daya sama sekali. Benar-benar lemah, menjadi manusia biasa, sangat biasa. Dia merasa tidak tahu apa-apa, karena semuanya seakan-akan hanya di tarok begitu saja. Dia akan menjadi tunduk, rendah hati, karena dia menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Dan lain lain, dan lain lain. Hingga pada gilirannya nanti sampailah dirinya kepada makom kearifan tertinggi dalam dimensi manusia.
Jika tertarik belajar Ilmu ini, Ilmu Laduni, maka menurut hemat saya tidaklah harus belajar kepada orang lain. Sebab begitu sulitnya jaman sekarang ini menemukan orang seperti itu. Belajarlah kepada Allah. Bergurulah kepada Allah.
Begitulah ke-khas-an Ilmu Laduni, dalam pemahaman saya, bagaimana memulai nya ?. Maka ini hanyalah sekedar sharing saja, sekali lagi hakekatnya hanya Allah saja yang tahu, pengajaran seperti apakah yang pas buat diri kita masing-masing.
Dari mana mulai ?
Di awali dari sebuah pertanyaan yang di lontarkan. Mengapa manusia menerima dengan sikap pasrah sebuah keyakinan secara turun temurun, tanpa sedikitpun keraguan ?. Mengapa manusia tidak mau menggunakan bukti-bukti rasional sebagai dasar penerimaan itu ?.
Mengapa setiap kelompok meyakini paham mereka sebagai suatu kebenaran ?. Bersikukuh mempertahankan keyakinan yang di dapat dari nenek moyang mereka secara turun temurun, tanpa meragukan sedikitpun. Mengapa Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, Bathiniyah, dan lainnya tetap dalam pendapatnya itu. Sehingga pada gilirannya, membuat mereka sendiri menjadi sangat sensitif ketika diantara mereka mengalami benturan keyakinan dan bersinggungan paham.
Mengapakah hal ini tidak menimbul pertanyaan dan keraguan kepada kita, manakah diantara paham mereka sesungguhnya yang benar.
Marilah kita telusuri mengapa keadaannya begitu. “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya saja kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. “ (HR. Al Bukhari, Muslim, Malik, dan Ahmad).
Itulah keadaan real kondisi manusia, saat dia dilahirkan, dia sudah berada dalam kesadaran kolektif masyarakatnya. Dia tidak bisa memilih orang tuanya, lingkungannya, atau agamanya.
Jikalau begitu dapatkah dia disalahkan pada satu sisi itu saja, ketika dia memeluk agama Yahudi, Nasrani atau Majusi ?. Apakah orang tuanya yang salah ?. Ternyata tidak juga, karena ternyata orang tuanyapun mengalami nasib yang sama. Dia juga hanya menerima agama dari orang tuanya lagi. Dan seterusnya, dan seterusnya. Setiap manusia hanya menerima begitu saja paham dan keyakinan dari nenek moyang nenek moyang mereka.
Jikalau setiap manusia mengalami kejadian yang sama seperti itu, kenapa mereka semua harus mewarisi juga sikap permusuhan nenek moyang-nenek moyang mereka semua ?. Menjadi permusuhan yang turun temurun lintas generasi, permusuhan yang tiada habis-habisnya. Praduga dan persepsi di bangun atas cerita masa lalu. Tidakkah sebaiknya setiap golongan, setiap manusia duduk bersama mengkaji kebenaran masing-masing. Melakukan kontemplasi dalam diri sendiri mencari hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat kebenaran.
Yakinlah, manusia dahulunya adalah umat yang satu. Agama dahulunya adalah satu. Kemudian ada sebagian dari manusia yang di berikan pengetahuan menyimpangkannya, mengikuti hawa nafsunya. Pemahaman tersebut kemudian diturunkan, diikuti oleh keturunan keturunan mereka secara membuta. Sampailah kepada kita sekarang ini. Sesungguhnya manusia telah melalaikan keadaan yang sudah sekian lama begini, berabad abad lalu hingga melintasi jaman dan peradaban, sampailah kepada kita sekarang ini. Dinamika seluruh umat manusia dengan pelbagai macam keyakinan dan kebenaran versi masing-masing.
Kita seharusnya khawatir dengan perkembangan agama Islam itu sendiri, kemudian mempertanyakan dengan keraguan, mengapa begitu banyak mahzab di dalam Islam, mengapa Islam juga terpecah-pecah. Manakah yang benar diantara mereka. Kita harus memiliki Ilmu yakin atas kebenaran yang di dalamnya tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi keraguan. Keyakinan yang haqul yaqin yang tidak menyertakan kemungkinan salah dan praduga.
Sebuah keyakinan atas kebenaran yang tidak mungkin mampu di goyahkan sedikitpun oleh siapapun, meskipun sang pembantah memberikan emas sebesar gunung sekalipun. Dan selanjutnya kita mampu menyikapi atas perbedaan yang tengah terjadi di dalam masyarakat itu dengan kearifan, sebab hakekat kebenaran datangnya dari Allah.
Muncullah pemahaman bahwa hakekatnya setiap golongan hanya berada dalam makom mereka masing-masing. Tentunya mereka semuanya nanti, jika telah satu dalam kebenaran Tuhan maka seluruh umat manusia akan menjadi kembali bersatu lagi dalam dienul Islam. Itulah keyakinan Islam.
Sekali lagi, setiap mahzab, setiap golongan senantiasa melakukan klaim atas kebenaran mereka, namun kita tidak pernah tahu, diantara mereka manakah sesungguhnya yang benar. Benar dalam kebenaran Allah. Dimanakah rantai yang terputus, dimanakah ‘missing link’ nya, sehingga kebenaran yang sampai kepada kita sudah terserak-serak, sudah tidak lengkap lagi.
Kita harus menanyakan kepada diri kita melalui keraguan. Karena Al qur an telah mengisyaratkan demikian. Pada setiap peradaban mungkin ada saja nenek moyang kita yang lalai. Kita harus khawatir atas hal itu. Sehingga kitalah yang di harapkan mampu memutuskan mata rantainya, mencari dimanakah asal muaranya, mencari jalan penghubung atas ajaran nabi Ibrahim yang lurus (Milah Ibrahim). Sehingga kita memliki keyakinan yang benar, yang selanjutnya dengan ini, dapat kita wariskan kembali kepada anak cucu kita berikutnya. Menjadi generasi Islam yang wajahnya penuh senyum, yang senantiasa menjadi rahmat bagi yang lainnya. Islam adalah rahmat semesta alam.
Generasi yang melalaikan
“Ya Sin. Demi Al qur an yang penuh hikmah. Sungguh engkau (Muhammad) adalah seorang dari rosul-rosul. Diatas jalan yang lurus. (Sebagai wahyu) yang diturunkan (Allah) yang maha Perkasa, Maha Penyayang. Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. Sungguh, pasti berlaku perkataan terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. “ (QS. Ya sin 1-7)
Al qur an jauh hari sudah memperingatkan hal tersebut. Dalam setiap peradaban setiap abad akan terdapat suatu kaum yang nenek moyang-nenek moyang mereka lalai. Maka Al qur an kemudian di turunkan, sebagai wahyu, memberikan peringatan kepada kita, atas kemungkinan tersebut dengan sebuah praduga bahwa diduga diantara nenek moyang kita terdahulu terdapat suatu generasi yang lalai.
Terjadilah ‘missing link’ mata rantai yang terputus. Sehingga sampai ke jaman kita, sudah menjadi banyak versi kebenaran yang terserak diantara setiap golongan. Kitalah semua yang harus mengkritisi, ke dalam diri kita masing-masing. Mengikuti petunjuk di dalam Al qur an. Mencari kebenaran itu sendiri.
Al qur an menuntut ke aktifan manusia dalam mencari kebenaran. Menguji kembali keimanan yang telah diwariskan kepada diri kita masing-masing. Meminimalisir kelalaian nenek moyang kita yang beranggapan bahwa diri mereka sudah benar, sehingga karenanya mereka lalai, dan karena itu mereka tidak mau lagi mencari kebenaran. Sehingga kebenaran yang sampai kepada kita sudah tidak sempurna.
Kebenaran harusnya sampai kepada kita melalui jalan yang lurus (shirotol mustakim). Bukan melalui jalan orang yang sesat ataupun jalannya orang yang di murkai Allah. Maka kita wajib meyakinkan diri kita atas hal tersebut. Sehingga kita mampu mengamankan setidaknya jalan kita sendiri terlebih dahulu.
Pertanyaan-pertanyan tersebut layaknya terus di lontarkkan ke dalam hati. Sebagaimana yang dilakukan nabi Ibrahim as, ketika mencari hakekat Tuhan, sebagaimana juga yang di lakukan Rosululloh dalam kontemplasinya sepanjang waktu dan di perkuat saat-saat di gua hiro.
Begitu juga sebagaimana Hujatul Islam Imam Al Ghozali. Ini adalah pondasi dasar untuk melatih instrumen ketubuhan kita, mempersiapkan kondisi saat di susupkan contoh rahsa agar dikenali. Semua dimulai dengan pertanyaan, penuh keraguan atas suatu keadaan. Melihat ke dalam diri, mencari referensi atas sesuatu itu, dari dalam jiwa kita sendiri.
Pengajaran yang sederhana
Marilah kita masuki saja agar menjadi lebih jelas apa yang saya maksudkan. Kita mulai dari hal yang sederhana. Kita coba dari masalah yang paling banyak terjadi menimpa kita kaum awam adalah perihal sholat. Al qur an sudah memberikan solusi efektif bagi kita kaum urban dalam menghadapi kesempitan dan tuntutan hidup.
Firman Allah “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. “ (QS. Al baqoroh 45).Perintah tersebut jelas tidak mungkin salah. Masalahnya adalah kita yang belum mampu. Maka mulailah kita bertanya dalam hati kita, berdialog dengan tajam dan dalam.
· Apakah sholat yang di ajarkan orang tua kita sudah benar, sehingga sholat mampu menjadi penolong kita ?.
· Apakah ada yang salah, sehingga sholat belum dapat saya jadikan penolong ?.
· Mengapa sholat dapat di jadikan penolong ?. Bagaimana caranya ?
· Nyatanya berat bukan ?. Kenapa kok saya tidak bisa melakukan hal itu ?
· Hanya orang yang khusuk yang dapat melakukan itu ?
· Mengapa saya tidak bisa khusuk ?.
· Terus bertanyalah dan jawablah dengan jujur. Latih terus instrument ketubuhan kita.
· Kuatkan hati dan terus bertanya kepada Allah. Bagaimana caranya agar kita mampu mengerti.
Begitu juga dalam mengenal Allah, baiknya kita mulai dari ayat yang sering kita lafadzkan sehari-hari . Bisa dari “Bismillahi rohmani rohiem”. Pernyataan tersebut harus kita akui pasti benar.
Maka kenalilah, bertanyalah terus, kasih sayang apakah yang telah diberikan kepada kita. Terlihat sederhana pertanyaan ini, namun seperti uraian dimuka, saat kita tidak memliki referensi apapun tentang sifat kasih dan sayang Allah, kita tidak akan mampu mengucapkan ini dengan keyakinan.
Ketika kita tidak yakin dengan ini, maka kita juga akan sulit mengenal Allah. Sebab dikarenakan kita tidak memiliki referensi sifat kasih dan sayang-Nya dalam diri kita. Ketika kita tidak mampu mengenal Allah, maka selanjutnya kita akan sulit khusuk dalam sholat.
Sungguh bagi sebagian orang, menemukan dan mencari referensi kasih sayang Allah di dalam dirinya, merupakan perjuangan yang melelahkan, mendaki lagi sukar. Banyak kesadaran lain yang menghijab. Banyak sekali kesadaran lain yang ikut di dalam dirinya akan melakukan pengingkaran-pengingkaran,
Bahkan mungkin akal , mungkin jiwanya sendiri juga akan melakukan pengingkaran, sehingga hati sulit sekali mendapatkan hal atau keadaan seperti keadaannya. Yaitu keadaan rahsa di dada seperti dimaksud ketika Allah melimpahkan kasih sayangnya.
Apakah kita mengerti dan memahami bagaimana keadaan tersebut ?. Tentunya kita harus belajar mengenali, belajar untuk mendapatkan contoh rahsanya, dengan suatu mujahadah yang tak kenal lelah, agar nantinya tidak salah lagi.
Kita harus terus istikomah, melewati fase-fase awal. Kesadaran-kesadaran yang berada dalam diri kita secara perlahan tapi pasti akan di singkap, bagai mengupas kulit bawang, selapis demi selapis. Yakinlah, dengan mengenal Allah melalui sifat kasih sayang-Nya saja kita sudah akan mampu menjalani kehidupan beragama dengan tenang, puas dan ridho. Inilah pengajaran yang sederhana namun tepat guna dan manfaat.
Bila orang tua kita hanya mengajarkan “Bismillah”, maka masuki saja lebih dalam. Insyaallah dengan ini, kita akan mampu mengerjakan dan mendirikan syariat dengan lebih ringan, lebih ikhlas dan sabar. Agama selanjutnya tidak menjadi beban kita lagi. Insyaallah beragama dan berkerja akan sejalan. Meskipun penguasaan agama kita hanya sedikit.
Berguru Kepada Allah
Masih banyak yang harus disingkapkan, perihal bagaimana pengajaran Allah, bagaimana keadaannya jika kita berguru kepada Allah. Sungguh luar biasa pernyataan yang di usungUstad Abu Sangkan.
Dalam bukunya Berguru Kepada Allah. Meski menabrak logika berfikir umat Islam, dan mendobrak ‘mainstream’ yang begitu kuat. Nyatanya pemahaman ini secara perlahan mampu diterima masyarakat. Meski pada awalnya banyak penentangan di sana-sini.
Lambat laun, masyarakat mampu melihat dengan jernih kemana muaranya. Pemahaman ini secara tidak langsung telah melahirkan paradigma baru dalam konsep berfikir tentang Islam itu sendiri. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya atas diri beliau. Amin
Dalam perjalanan Berguru Kepada Allah, manusia akan diperjalankan, dan di ajarkan bagaimana memahami dirinya sendiri terlebih dahulu. Terutama adalah bagaimana manusia mampu memahami dualitas rahsa yang telah disusupkan oleh Allah kepadanya. Rahsa pada jiwa yaitu kefasikan dan ketakwaan.
Manusia harus mengenalinya. Membedakannya bagaimana sensasi rahsa bila kita berada dalam makom kefasikan dan bagaimana juga keadaan sensasi rahsa di jiwa ketika kita berada di makom ketakwaan. Sungguh kita harus mampu membedakan keadaan ini. Agar kita tidak tertipu.
Manusia secara perlahan diminta mengenali rahsa takut, rahsa syukur, rahsa takwa, tawakal, iman, sabar, harap, dan lain-lain, dan berikut dengan dualitasnya, yaitu rahsa kebalikannya. Digulirkan juga rahsa senang dan sedih, gembira dan nestapa, sukses dan kecewa, dan bagaimana memaknai hikmah diantara dua rahsa itu. Kemudian bagaimana juga menetapinya, rahsa yang bagaimanakah yang bersumber dari daya Allah.
Semua akan diajarkan satu persatu. Begitu dahsyatnya pengajaran itu, hingga sangat terasa di badan. Sebagaimana halnya sampai-sampai pada dada Rosululloh ketika sholat seperti ber-gemuruh, saking dahsyatnya, hingga terdengar oleh orang di belakangnya. Maka ketika kita diajarkan rahsa ini, sungguh kita harus istikomah dalam keyakinan kepada Allah.
Gemuruh di dada dan bagaimana sensasinya begitu luar biasa, benar-benar akan melumpuhkan dirinya. Bagai gelombang tsunami yang akan melemparkan apa saja. Bagai radiasi yang akan meluluh lantakkan apa saja yang terpapar. Semua menimpa raganya. Maka bagi manusia hanya ada satu jalan, hanya kembali kepada Allah. Tidak ada jalan kembali. Apakah dia akan menjadi kafir setelah beriman ?. Itulah taruhannya. Jika dia berbalik, sungguh siksaan Allah amatlah pedih.
Kemudian manusia juga akan diajari bagaimana membedakan sensasi bagaimana jika kita takut kepada Allah dan bagaimana juga ketika kita takut kepada selainAllah. Demikian juga untuk rahsa cinta. Bagaimana sensasi rahsa ketika kita cinta kepada Allah dan ketika kita mencintai selain Allah.
Dengan mengenali sensasi rahsa ini (dzauq), manusia akan mengenali daya(kasyaf) yang menimbulkan sensasi tersebut. Karena hakekatnya rahsa hanyalah sebuah efek atas bekerjanya sebuah daya saja. (Lihat Kajian Sebelumnya perihal DAYA ini).
Sebuah rahsa panas yang dirimbulkan oleh alat pemanas, atau bohlam lampu misalnya, akan terasa bedanya jika daya listrik yang menghidupkannya berasal dari daya PLN ataukah bersumber dari daya sebuah battery. Jika dari PLN akan lebih konstan namun jika dari baterry dayanya semakin lama akan meredup sehingga nyalanya (panasnya) akan tak beraturan.
Sensasi ini terasa nyata dan akan beda sekali bagi yang mampu merasakannya. Inilah perumpamaannya. Begitulah cara mengenali sebuah daya. Apakah daya dari Allah ataukah daya dari selain Allah. Kita mengenali dari sensasi rahsanya (dzauk).
Kemudian setelah kita mengenalinya, maka kita akan mendapatkan referensi atas rahsa yang dimaksudkan. Allah akan memberikan contoh rahsanya yang benar (hal). Bagaimana rahsa yang sungguh-sungguh benar.
Kita akan memiliki keyakinan yang kuat tentang kebenaran yang dimaksudkan-NYA. Tanpa rekayasa apapun. Betul-betul seperti di tarok saja. Setelahnya, kemudian manusia harus mengupayakan dirinya agar menempati makom tersebut, berdasarkan referensi yang sudah didapatkannya itu.
Inilah perjuangan yang terus menerus, hingga manusia mampu mencapai makom yang dimaksudkan. Begitus seterusnya sehingga tercapailah kearifan puncak. Menjadi manusiayang (menjadi) rahmat semesta alam.
Penutup
Maka keadaannya, hanya dengan mengucapkan ‘Bismilahi rohmani rohiem’ saja, ahli kitab tersebut sudah mampu memindahkan singgasana Ratu Bilkis. Sesuai permintaan Nabi Sulaiman. Begitulah yang diberitakan Al qur an. Sebab karena orang tersebut sudah mampu mengkondisikin dirinya dalam (suasana) hal dimana dan bagaimana keadaan suasana itu, saat (ketika) waktu sama dengan nol (t=0). Bagaimana sensasinya, dimensinya, dan bagaimana juga keadaannya dia sudah tahu dan sudah menjadi realitas bagi dirinya. Maka ketika orang tersebut sudah memiliki referensi sebagaimana hal ketika waktu sama dengan nol, (realitas keadaan tersebut) maka dia dengan mudahnya (masuk) berada dalam kondisi tersebut.
Ketika dia sudah dalam kondisi tersebut, (sama halnya) bagi dirinya waktu sudah sama dengan nol (t=0) maka selanjutnya mudah saja bagi dirinya berada dimana saja, dan berbuat apa saja, karena bagi dirinya segala sesuatu sudah tidak berjarak dan tidak bermassa lagi.(Lihat Kajian Misteri Sang Waktu). Maka sesungguhnya dia akan mampu melakukan segala sesuatu dengan sangat mudahnya, seperti mengkedipkan mata saja. Melakukan semua itu sebagai kewajaran, sebagaimana matahari yang selalu terbit, melakukan dengan kerendahan hati. Sebuah kearifan puncak manusia. Begitulah hakekat Ilmu Laduni.
Begitulah (rahasia) kebesaran hikmah atas kita-kitab Allah, bagi orang yang mengetahui. Inilah pemahaman saya, maka kembalinya kepada sidang pembaca memaknainya. Selamat Mencoba. Wolohualam.
Salam