Mediametafisika - Mungkin beberapa dari kita pernah memikirkan, bagaimana kita bisa sampai ke sistem waktu yang dipakai saat ini?
Untuk membayangkannya dengan lebih asyik, mari simak ilustrasi dalam sebuah cerita di tulisan ini. Ada seseorang yang hidup pada zaman ketika belum dikenal yang namanya tanggal, bulan, bahkan tahun. Sebut saja dia Emit. Silakan bayangkan ia berkelana menyusuri daratan pegunungan, menghadang teriknya matahari musim panas, deru angin musim gugur, hembusan salju musim dingin, dan warna bunga musim semi. Tidak sesuai dengan kondisi kita di Indonesia? Oke, baiklah, dengan sudut pandang tropis, anggap ia berkelana menghadang debu panas musim kemarau, dan genangan banjir musim hujan. :)
Emit memperhatikan bahwa musim ini datang secara teratur, maka ia sebutlah periode antarmusim yang sama ini sebagai satu tahun. Lalu ia perhatikan juga, bahwa matahari terbit dan terbenam secara teratur. Emit kemudian menyebut proses terbit-terbenamnya matahari ini sebagai hari.
Tak lama, muncul masalah baru. Emit kebingungan ketika ingin menandai satu hari tertentu dalam satu tahun yang tadi. Setelah mengamati langit, Emit menyimpulkan bahwa 1 tahun terdiri dari lebih dari 360 hari. Emit kesulitan untuk menghitung hingga 300, karenanya ia merenungkan, bagaimana satu tahun ini harus dibagi supaya lebih enak digunakan ketika ingin menunjukkan waktu. Ia menengok langit malam, yang dihiasi bulan purnama. Ia tersadar, jika kenampakan (fase) bulan selalu berubah dari waktu ke waktu, dan waktu antara bulan purnama ke bulan purnama berikutnya adalah hampir 30 hari. Akhirnya, Emit menandai periode ini sebagai satu “bulan”. Ternyata 360 dibagi 30 hasilnya adalah 12. Betapa senangnya Emit, lalu ia langsung membuat sistem penanggalan dengan satu tahun terdiri dari 12 bulan, yang secara keseluruhan adalah 360 hari.
Emit adalah makhluk sosial, sehingga ia perlu berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Emit menyampaikan gagasannya kepada masyarakat sekitar. Syukurlah, masyarakat menyambut dengan antusias ide tersebut. Emit pun mulai terkenal di desanya, dan perlahan mulai mahsyur namanya, antarpadang rumput, bahkan antarpegunungan.
Meski demikian, ada satu pihak yang protes. Mereka ini, sang pemprotes, memuja benda langit, dan mereka perhatikan bahwa sistem buatan Emit ini tidak mengakomodasi kepercayaan mereka. Akhirnya mereka mengajukan untuk membagi tahun dalam kelompok-kelompok hari. Mereka hitung jumlah sesembahan mereka, benda langit yang mereka lihat bergerak perlahan di langit hari demi-hari. Ada matahari, bulan, dan planet-planet seperti Mars, Merkurius, Jupiter, Venus, Saturnus. Semuanya ada tujuh, dan mereka ajukan sebuah periode selama tujuh hari untuk membagi hari dalam setahun menjadi satu kelompok. Mereka beri nama periode ini, satu “pekan” atau “minggu”.
Emit tidak ingin memicu permusuhan, maka diterimanyalah pengajuan itu, dan ia gabungkan ke dalam sistem buatannya tadi. Satu tahun tetap terbagi menjadi 12 bulan, dan juga terbagi menjadi kelompok-kelompok pekan yang jumlahnya sampai lebih dari 50 dalam satu tahunnya. Angka 50 dibagi 12 hasilnya sedikit lebih dari 4, dan mereka seragamkan dengan mengatakan bahwa satu bulan terdiri dari kurang lebih 4 pekan.
Emit pun semakin terkenal dan ia pun mulai rajin menerima kunjungan dari orang-orang di seantero benua. Biasanya ia mendidik, berdiskusi, atau sekadar beramah-tamah dengan pengunjungnya. Tetapi, lama-kelamaan ia kebingungan, karena seringkali pengunjungnya datang pada waktu yang bersamaan. Akibatnya ia terpaksa menjamu mereka sekaligus. Emit merasa bahwa jamuan berjamaah ini kurang mendekatkannya kepada masing-masing pengunjung, sehingga ia memutuskan untuk membagi satu hari menjadi satuan yang lebih kecil. Tapi apa acuannya? Emit bingung. Ia mempertimbangkan pembagian antara “siang” dan “malam”, tetapi panjang siang dan malam tidak tetap seiring berjalannya satu tahun.
Emit memutuskan untuk membicarakannya dengan para pengunjung suatu hari. Ternyata, ada seorang pengunjung dari Mesir dengan peradaban maju itu, mengusulkan pembagian dengan 12. Katanya, orang Mesir sudah terbiasa membagi siang dan malam, masing-masingnya menjadi 12 bagian. Mereka sepakat menamai satu bagian ini “jam”, dan supaya panjangnya tetap, Emit menyamakan panjang masing-masing bagian jam siang dengan bagian jam malam. Akhirnya didapatlah 24 jam sebagai panjang satu hari. (Pembagian 24 jam menjadi 2 bagian mungkin menjadi asal mula adanya A.M.–ante meridiem, sebelum tengah hari; dan P.M.–post meridiem, setelah tengah hari)
Semakin lama, setiap hari Emit dikunjungi banyak orang. Dan semakin lama, pertanyaan yang diajukan makin detail dan sulit. Terkadang Emit kebingungan menjawabnya, dan ia meminta izin untuk beristirahat sejenak, menyegarkan pikiran. Tetapi berapa lama tepatnya? Emit bingung, karena bagaimanapun juga, satu jam terlalu lama untuk sekadar menyegarkan pikiran. Masa’ saya harus bilang “seperempat jam”? Emit berpikir, akan sangat baik jika satu jam dibagi menjadi beberapa bagian lagi, sekaligus untuk meningkatkan ketepatan sistem waktunya.
Emit sungguh sangat beruntung karena ternyata salah satu tamu di rumahnya saat itu sedikit mengenal kebudayaan “Babilonia”. Di sana, katanya, orang biasa menggunakan perhitungan dengan basis 60, maka bukankah bagus jika 1 jam juga dibagi menjadi 60 bagian? (Saat ini kita menggunakan perhitungan berbasis 10)
Tanpa perlu banyak berpikir, Emit menyanggupi usulan itu. Lagipula 60 mudah dibagi dengan 2, 3, 4, 5, 6 dan seterusnya. Maka selanjutnya ia membagi satu jam menjadi 60 bagian, masing-masing bagian ia beri nama “menit”. Emit sekarang memiliki sistem waktu yang begitu rinci, mulai dari tahun sampai menit. Sistem waktunya pun sudah cukup banyak dipakai oleh orang-orang di sekitarnya. Atas pertimbangan ketelitian ini, Emit menambahkan lagi satuan waktu dengan membagi satu menit menjadi 60 bagian, sebanding dengan satu jam yang dibagi menjadi 60 menit. Bagian-bagian hasil pembagian dari satu menit ini dikenal dengan nama “detik”. Berhubung durasi satu detik sudah sangat cepat, Emit tidak berencana untuk membubuhkan satuan lagi untuk membagi detik. Sudahlah, kalau nanti ada yang ingin memperbarui sistem ini, silakan saja.
Kisah Emit di sini mungkin bisa mewakili apa yang kira-kira menjadi cikal-bakal dari sistem waktu yang biasa kita pakai saat ini. Meskipun begitu, perlu diketahui bahwa sistem waktu yang ada ini tidak terbentuk dari satu kebudayaan saja. Sistem ini berkembang di berbagai kebudayaan yang saat itu sudah cukup maju untuk menyadari pentingnya sistem waktu, dan seiring bertemunya tiap-tiap kebudayaan ini, sistem yang mereka gunakan perlahan membaur. Pembauran antar sistem ini terus terjadi sampai sebuah kesepakatan meresmikan salah satu kombinasi dari sistem yang sudah ada itu, sebagai sistem waktu yang mereka pakai dalam keseharian mereka. Penggunaan standar waktu jam-menit diduga sudah dikenal oleh bangsa Romawi, dan di menara jam abad pertengahan, orang sudah mulai menyertakan jarum detik.
Sekali lagi, sistem waktu ini tidak terbentuk hanya di satu lokasi statis sebagaimana mungkin tergambar dalam kisah Emit, apalagi disusun oleh satu orang bernama Emit. Karena nama “Emit” sendiri berasal dari “Time” (waktu) yang dibaca terbalik.
Merasa kenal jam ini?
Sekarang, mari kita telusuri lebih jauh berbagai definisi penanda waktu.
Tahun: Sebagai salah satu besaran yang standarnya dapat ditentukan dengan baik secara astronomis, tahun ada banyak macamnya. Ketika kita membicarakan tahun dalam pemaknaan periode (bukan dalam penanggalan), maka akan kita temui istilah seperti “tahun sideris”, “tahun tropis”, dan seterusnya.
Tahun sideris mewakili perjalanan bumi melintasi satu orbit penuh mengelilingi matahari. Lama satu tahun sideris ini sekitar 365,2564 hari. Sementara tahun tropis mewakili lama “perjalanan” matahari di langit, yaitu durasi antara dua konfigurasi yang sama (misalnya, antara titik balik musim panas ke titik balik berikutnya). Lama satu tahun tropis rata-rata adalah 365,2422 hari, dan durasi inilah yang dijadikan acuan pendekatan dalam merumuskan kalender “Gregorian” pada tahun 1582.
Ketika bicara penanggalan, paling tidak ada dua jenis kalender yang digunakan secara luas:
Kalender dengan dasar matahari seperti kalender Gregorian, atau
Kalender dengan dasar bulan seperti kalender Islam.
Untuk kalender matahari, panjang tahun disesuaikan dengan periode tahun tropis. Sementara untuk kalender Islam, panjang tahun adalah total durasi 12 bulan dengan satu bulan menandai periode antara fase bulan baru ke bulan baru berikutnya. Jika dihitung, satu tahun kalender Islam akan memiliki durasi rata-rata sebesar 354,3671 hari.
Bulan: Meskipun penentuan satu bulan selama sekitar 30 hari diyakini berkaitan dengan selang waktu antara dua fase bulan baru, dalam perkembangannya “bulan” dalam kalender matahari menjadi sebatas pembagi. Daftar berikut ini pun dapat menunjukkan bagaimana bulan-bulan di kalender matahari, dalam hal ini Julian yang menjadi ajang pengukuhan reputasi oleh sang kaisar Julius dan sepupunya Augustus. Nama mereka berdua masih terabadikan di kalender yang terpajang di mana-mana, mulai dari warung Tegal hingga kantor pak menteri.
- Maret/Martius (diambil dari nama dewa perang Romawi, Mars)
- April/Aprilius (diambil dari kata Latin, aperire, yang artinya ‘membuka’)
- Mei/Maius (diambil dari nama dewi pertumbuhan Romawi, Maia)
- Juni/Junius (diambil dari nama dewi Romawi, Juno)
- Juli/Julius/Quintilius (nama aslinya diambil dari kata Latin quinque, lima; Caesar Julius mengganti nama bulan tersebut sesuai namanya sendiri)
- Agustus/Augustus/Sextilius (nama aslinya diambil dari kata Latin sex, enam; Caesar Augustus mengikuti jejak pamannya Julius dengan menamai nama bulan dari namanya)
- September/Septembris (nama aslinya diambil dari kata Latin septem, tujuh)
- Oktober/Octobris (nama aslinya diambil dari kata Latin octo, delapan)
- November/Novembris (nama aslinya diambil dari kata Latin novem, sembilan)
- December/Decembris (nama aslinya diambil dari kata Latin decem, sepuluh)
- Januari/Januarius (diambil dari nama dewa penjaga pintu gerbang Olympus, Janus)
- Februari/Februarius (diambil dari nama dewa pemurnian Romawi, Februus)
Pekan: Beberapa negara menyandang nama dewa-dewi yang diwakili oleh Matahari, Bulan dan kelima planet sebagai pengisi nama-nama hari. Berikut asal usul nama hari dalam bahasa Inggris:
- Monday/Moon’s Day, yaitu Hari Bulan.
- Tuesday/Tiw’s Day; Tiw dalam mitologi Romawi ekuivalen dengan Mars.
- Wednesday/Woden’s Day; Woden/Odin dalam mitologi Romawi ekuivalen dengan Merkurius.
- Thursday/Thor’s Day; Thor dalam mitologi Romawi ekuivalen dengan Jupiter
- Friday/Frigg’s Day; Frigg/Freyta dalam mitologi Romawi ekuivalen dengan Venus.
- Saturday/Saturn’s Day; yaitu Hari Saturnus
- Sunday/Sun’s Day; yaitu Hari Matahari.
Negara seperti Jepang dan Korea mengadopsi penamaan hari yang mirip dengan Inggris, hanya saja di kedua negara ini nama hari dan nama planet yang diwakilinya diasosiasikan dengan elemen (berurutan: bulan, api, air, kayu, emas, tanah, matahari). Sebagai contoh, Jumat (金曜日, kin’youbi/금요일, geumyoil) diwakili oleh planet Venus (金星, kin’sei/금성, geumseong; bintang emas). Cocok dengan penamaan Friday atau hari Venus untuk hari Jumat.
Menariknya, negara seperti Arab dan Cina justru menggunakan penamaan yang lebih sederhana.
Di Arab, hari Ahad/Minggu ( الأحد) berarti hari pertama, selanjutnya Itsnain/Senin atau hari kedua ( الإثني), seterusnya sampai Sabt/Sabtu hari ketujuh ( السَّبْت). Pengecualian ada di hari “keenam”, yaitu hari Jum’ah/Jumat ( الجُمْعَة). Untuk Cina, penghitungan dimulai dari hari Senin sebagai hari pertama (星期一) sampai Sabtu sebagai hari keenam (星期六), dengan hari ketujuh disebut sebagai hari ibadah (星期日 atau 星期天). (Menurut situs ini, hari ibadah ditempatkan sebelum hari pertama [Senin] hingga keenam [Sabtu].)
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia mengadopsi nama-nama hari dalam bahasa Arab, dari الإثني Itsnain menjadi Senin, dari الأَرْبعاء Arba’a menjadi Rabu, dan lainnya. Pengecualian ada di hari الأحد Ahad, yang di Indonesia lebih umum dikenal sebagai Minggu. (Dalam praktiknya, orang Indonesia seringkali menggunakan istilah ‘minggu’ semakna dengan ‘pekan’.) Nama Minggu sendiri adalah serapan dari nama Portugis Domingo, yang pada gilirannya berasal dari bahasa Latin Dominic (berarti Lord/Tuhan). Nama serapan yang ini umum dikenal di negara berbahasa Roman, seperti Spanyol, Italia, Prancis, atau Romania.
Sementara itu, negeri jiran, Malaysia, mengadopsi nama Arab untuk hari-hari secara penuh, termasuk penggunaan nama Ahad, alih-alih Minggu. Perbedaan gaya penyerapan hanya tampak kentara pada Isnin (Malaysia) dan Senin (Indonesia).
Sistem Waktu Harian: Dalam sistem waktu yang digunakan mayoritas penduduk Bumi saat ini, pergantian hari terjadi pada tengah malam. Dulunya, pergantian hari dijadwalkan pada tengah hari, berhubung lebih mudah untuk mengamati apakah matahari sudah mencapai tinggi maksimumnya atau belum. Tetapi muncul keluhan dari orang-orang yang merasa bahwa pergantian hari di tengah aktivitas terasa merepotkan, sehingga kemudian pergantian hari digeser menjadi tengah malam. Perbedaan lain ada di sistem waktu Islam dan Yahudi yang menggunakan terbenamnya Matahari sebagai indikator pergantian hari.
Pembagian zona waktu per 20 September 2011.
Sebagai sistem yang akan digunakan secara global, diperlukan keseragaman dalam penentuan waktu di sana-sini. Kenyataannya, sampai akhir abad ke-19, warga dunia masih menyetel jamnya masing-masing tanpa standar tertentu. Melihat ini, seorang bernama Sir Sandford Fleming mengusulkan pembagian zona waktu menjadi 24 bagian, masing-masing mewakili satu jam dan wilayah selebar 15 derajat bujur. Totalnya akan menjadi 360 derajat. Sistem yang bagus? Masalah kemudian muncul di penentuan bujur acuan. Karena bujur acuan ini bisa ditetapkan di mana saja, sesuai dengan kesepakatan, berbagai negara berlomba mengajukan garis bujur nol yang melewati negara mereka. Salah satu yang terkenal mungkin adalah Garis Mawar yang dipopulerkan Dan Brown di novelnya The Da Vinci Code.
Akhirnya, bujur nol dihibahkan kepada Royal Observatory di Greenwich, dekat London, Inggris, dengan argumen bahwa mayoritas peta navigasi yang beredar menggunakan Greenwich sebagai bujur nol. Ketetapan ini diberlakukan mulai tahun 1884 di International Meridian Conference, dan perlahan diadopsi oleh negara-negara sampai tahun 1972, ketika diperkenalkan konsep Universal Time (UT), dan detik kabisat.
Sejak 1972, sistem waktu yang digunakan di seluruh dunia relatif telah mencapai keseragaman, dengan diperkenalkannya jam atom internasional (Temps Atomique International, TAI) yang memanfaatkan periodisasi dari atom cesium-133 untuk meningkatkan akurasi penghitungan detik. Sekarang, kebanyakan penelitian yang berskala global (misalnya pengamatan komet) dicatatkan dengan menyebutkan waktu UT alih-alih waktu lokal.
Wah, cerita yang tadi sudah berlalu begitu jauh, ternyata. Semoga bisa dinikmati.