Mediametafisika - Ngantuk, hal itulah yang kualami saat jin bertubuh besar itu datang. Suara burung malam terus mengiang sementara hujan turun dengan lebat. Hewan berkoak itu bertengger di atas pohon tembesu tua di atas kepalaku menghindari derasnya angin. Mahluk misterius itu berdiri kaku dengan jarak lima meter dari tempatku duduk bersila. Kebesaran tubuhnya hampir menutupi seluruh ruang pandangku ke arah depan. Suara yang mencuat dari mulut jin itu mirip sekali dengan suara singa Afrika. Dia menggerung seperti Raja Rimba yang sedang menguak amarah. Sementara tubuhku gemetar dan jantungku pun berdetak cepat.
“Jangan takut, tenangkan hatimu, lalu katakan pada nya, kau meminta apa malam ini. Tapi ingat, jangan salah sebut permintaan. Jika salah, salah pula yang yang akan didapat nanti!” desis Mbah Kamil Karsono, guru spiritualku, paranormal yang membimbingku masuk hutan Alas Lubuk, tempat di mana bermukimnya Jin Tembesu, tempat di mana kami melakukan ritual pemberdayaan mahluk gaib Setan Putih.
Dingin, sekujur badanku tiba-tiba menjadi dingin. Selain terguncang rasa takut kepada Jin Tembesu, hujan es juga mempengaruhi suhu 25 derajat selsius. Belakangan memang wilayah Tanjungsakti, Sumatera Selatan, sangat rawan turun hujan es. Batu-batu es kecil mengguyur bumi dan akan terasa pedih jika batu es itu menimpa wajah. Hal itu akan dialami oleh siapapun yang akan terkena, termsuk aku.
Tapi anehnya, hal itu tidak bagi Mbah Kamil Karsono. Seumur hidupnya, Mbah Kamil Karsono tidak pernah mempan terguyur hujan. Walau pun dia seumur hidup tidak pernah menggunakan payung saat hujan, tapi air dari langit itu tidak pernah mampu menyentuh tubuhnya. Walau tanpa payung saat hujan, tapi di atas tubuhnya hujan terhenti begitu saja, bahkan air itu menghindari untuk tidak mengenai dirinya.
Begitu juga saat panas terik matahari di siang hari, hawa panas dan sinar mentari tak pernah mampu menyentuh tubuhnya. Jika dia sedang berjalan di tengah gurun yang panas, maka di atas kepala Mbah Kamil Karsono seperti ada payung yang melindunginya, padahal payung yang dimaksud tidak ada sama sekali.
Mbah Kamil Karsono adalah seesorang yang rendah hati dan jauh dari sikap angkuh pada siapapun. Tidak banyak orang tahu tentang kemampuan supranaturalnya karena sifatnya yang rendah hati dan sederhana itu. Bahkan bila ditanya dia selalu menghindari tentang kemampuan dirinya, tentang kelebihan pribadinya yang sesesungguhnya sakti mandraguna itu. “Saya ini tidak punya ilmu apa-apa, tidak punya kelebihan apa-apa dan tidak bisa apa-apa kecuali mencangkul tanah dan bertani!” desisnya, santai, bila ditanya oleh orang-orang yang kepingin tahu tentang dirinya.
Mbah Kamil bahkan sering mengalihkan pembicaraan dan perhatian lawan bicaranya bila mengajaknya bebicara tentang supranatural.
Dia lebih senang berbicara tentang pupuk, pestisida dan bibit serta hasil pertanian sayuran yang digarapnya di tanah persawahan warisan orangtuanya di Tanjungsakti itu.
Miskin, memang begitulah yang dilihat orang bila menyaksikan keadaan rumah tangga Mbah Kamil Karsono. Mbah Kamil tidak punya keturunan dan istrinya, Mbah Karsiah, sudah meninggal dua puluh tahun yang lalu. Makam Mbah Karsiah letaknya tidak jauh dari gubuk Mbah Kamil dan makam istrinya tercintanya itu dibangun dari batu alam mirip sebuah goa.
Setiap hari Mbah Kamil pergi ke makam dan berdoa selama dua jam untuk istrinya yang semasa hidup sangat setia mendampingi Mbah Kamil yang miskin. Saat itulah aku dengan sabar menunggu serta membantu Mbah bertani, memotong pisang, menyirami sayur bayam, katuk dan kangkung yang ditanamnya. Bahkan aku juga yang membawa sayur Mbah Kamil ke pasar Indrajaya untuk dijual pada penadah langganannya.
Dari hasil bumi pertanian kecilnya, Mbah Kamil tidak pernah kekurangan makan dan papan. Walau rumahnya terbuat dari atas rumbia dan bambu beso dan rotan, tapi rumah bertiang itu sangat nyaman dan tak pernah ada seekor nyamukpun di sana. Nyamuk, lalat, kecoa dan kepinding ternyata dilarang keras oleh Allah Azza Wajalla untuk menghuni di gubuk Mbah Kamil.
Karena kesabaran, ketabahan dan pengabdianlah, maka aku diterima Mbah Kamil sebagai muridnya. Sedangkan proses belajar metafisika ini kujalani dengan waktu yang sangat panjang dan berliku. Papaku mulanya marah besar mengapa aku sering ke rumah dan tidur dengan Mbah Kamil. Bahkan mamaku pernah datang ke Mbah Kamil mencari tahu apa yang aku lakukan di gubuk pinggiran desa dekat hutan Tanjungsakti itu.
Tapi setelah bertemu Mbah Kamil, mama yang galak itu, tiba-tiba langsung tunduk dan mencium tangan Mbah Kamil yang sudah berkeriput karena umurnya uang sudah 80 tahun itu. Mama dan papaku yang bekerja sebagai orang Bank di kota itu, akhirnya merestui bahkan mendorongku untuk terus hidup dengan Mbah Kamil Karsono. Maka itu, setiap pulang sekolah, aku langsung membawa buku ke rumah Mbah Kamil dan belajar di gubuk reot tanpa listrik hanya dengan lampu minyak jarak.
Alhamdulillah, selama aku hidup dengan Mbah Kamil, nilai rapor ku selalu tertinggi dan aku selalu mendapat rengking pertama. Hal itulah yang membuat papa dan mamaku terus mendukungku tinggal dengan Mbah Kamil. Tapi sayang, bantuan papa dan mamaku satu genset dan seperangkat alat elektronik lengkap, ditolak oleh Mbah Kamil. Mbah tidak mau ada televisi, ada radia, tape recorder dan VCD di rumahnya. Mbah Kamil ternyata anti pada tehnologi dan ada pesan gaib yang melarangnya untuk bersentuhan dengan elektronik moderen.
Mbah Kamil hidup bagaikana masyarakat Badui Dalam, masyarakat adat yang anti pada listri dan tehnologi moderen. Bahkan rumah gubuk Mbah, tidak satupun menggunakan paku. Semua ikatan bambu-bambu itu, dari bahan rotan yang diambil Mbah dari kedal;aman hutan Tanjungsakti sendiri.
Setelah hampir sepuruh tahun aku hidup bersama Mbah Kamil, aku tamat SMA dan harus pergi ke ibukota mengadu nasib. Mbah Kamil sangat sedih atas rencana ku meninggalkannya ini. Tapi rasa galau dan sedih itu ditutupi oleh Mbah Kamil dengan senyuman dan gurauan khasnya. Walau kelihatan sangat berat, tapi Mbah Kamil sangat menyadari bahwa dunia kami berbeda. Mbah berada di dunianya sendiri, dunia spiritual yang tidak begitu perduli hal duniawi, sedangkan aku adalah harus memenuhi tuntutan hidup moderen. Yaitu aku harus bekerja mendapatkan uang banyak untuk keluarga dan untuk membantu papa-mamaku yang sebentar lagi akan pensiun total.
“Mbah merestui kepergianmu merantau jauh ke Jakarta dan hidup dengan duniamu yang baru. Malam jumat kliwon nanti, sebelum kau berangkat, kita menemui saudara gaib Mbah di Otan Tembesu. Bila sudah bertemu, jangan gugup dan jangan panik, katakan permintaanmu, ungkapkan keinginanmu mau apa. Kepingin apa dan mau jadi apa di Jakarta nanti. Insya Allah, saudara gaib Mbah akan memberikan bekal untukmu di rantau orang nanti dan mudah-mudahan Allah senantiasa melindungimu, Nak!” ungkap Mbah.
Setelah sembilan tahun lebih sembilan bulan hidup bersama Mbah, baru kali inilah aku mendapat kesempatan istimewa, yaitu untuk dapat masuk ke alam gaib dalam lingkup kehidupan spiritual Mbah Kamil.
Sebenarnya hal inilah yang kutunggu lama, kunanti dan kuharapkan agar selama ini dapat mengetahui apa yang tidak diketahui banyak orang, untuk dapat masuk ke alam yang selama ini tak tersentuh oleh manusia biasa. Syahdan, aku akan tahu kelak tentang apa itu Dunia Jin, apa itu dunia Setan Putih dan dunia gerinjang mahluk halus. Aku sangat percaya Mbah Kamil pakar dalam hal itu, tapi selama itu pula beliau merahasiakannya kepadaku dan menutup rahasia itu dengan rapat. Karena aku akan pergi jauh berpisah dengannya, maka Mbah Kamil terpaksa mengungkap hal itu dan hanya satu manusia, yaitu padaku, Mbah Kamil mempertunjukkannya.
Malam Jumat Kliwon, pukul 23.00 kami berangkat ke Otan Tembesu. Mbah Kamil bersila dan membimbingku dengan beberapa mantra yang dipetik dari Buku Kuno Jalakating dilanjutkan dengan ayat-ayat suci Al Qur’an dari surat tertentu yang berhubungan dengan jin. Aku pun mengikuti dengan penuh konsentrasi bimbingan itu.
Beberapa kali Mbah Kamil melakukan sujud di tanah di bawah pohon tembesu tua umur ribuan tahun itu sambil menyebut Allahu Akbar berpuluh kali dan kuikuti semua dengan seksama serta konsentrasi penuh. Tidak kurang dari tiga puluh menit ritual dibuka, tiba-tiba angin deras disertai hujan mengguncang areal lokasi ritual. Dedaunan, dahan dan ranting serta batang kayu terombang ambing dengan dahsyat. Gemuruh suara bayu merubah keadaan tenang menjadi rusuh oleh angin putting beliung. Burung-burung berkicau dan elang burik yang awalnya beterbangan karena kehadiran Mbah Kamil, pergi menjauh entah ke mana. Hewan-hewan malam itu lalu meninggal pohon tembesu tua yang angker dan biasa dijadikan tempat berteduh para perambah hutan daerah Tanjungsakti.
Oh Tuhan, aku terkejut beberapa saat, setelah di hadapanku hadir sosok manusia hitam bertubuh tinggi besar berkepala botak dengan menggerung bagaikan suara singa Afrika. Mbah Kamil dengan tenang menghadapi mahluk gaib dan ajaib itu. Sementara jantungku berdetak kencang, bulukuduk ku spontan meremang dan nyaliku tiba-tiba ciut seketika. “Jangan takut, jangan cemas dan tetaplah tenang pada posisimu duduk!” perintah Mbah Kamil kepadaku. Sedangkan mahluk yang dimaksudkan Mbah Kamil, Sang Jin Tembesu itu berlutut manis kepada Mbah Kamil, lalu duduk rapih untuk menutupi seluruh pohon tembesu yang berdiameter empat ratus senti itu. Seluruh tubuhnya menutupi pohon dan aku tak dapat lagi melihat besarnya pohon tembesu umur ribuan tahun tersebut.
Mbah Kamil berbicara dengan bahasa jin, suatu bahasa yang tidak pernah kudengar sama sekali selama ini. Bukan bahasa daerah, bukan pula bahasa asing dan bukan juga bahasa Arab. Belakangan kuketahui dari Mbah Kamil bahwa bahasa yang dilakukannya itu adalah Bahasa Setan. Tapi setan yang dimaksud adalah bahasa bangsa Setan Putih. Kata Mbah, di dalam kehidupan kelompok jin itu ada yang dinamakan bangsa setan. Bila jin itu jahat, maka jin itu masuk dalam kelompok setan hitam, bila jin itu baik maka jin itu masuk ke dalam grup Setan Putih. Nah, jin yang datang kepada kami malam itu, adalah Jin Tembesu, jin muslim yang bak hati dan masuk dalam golongan Setan Putih.
Mbah Kamil lalu memerintahkan agar aku memperkenalkan diri dan menjabat tangan Jin Tembesu itu. Tangan sebesar tiang jembatan itu kujamah dan rasanya dingin seperti es dan lembut bagaikan kapas sutra. Mbah Kamil mendorongku agar meminta apa yang kuinginkan di rantau nanti dan hendaknya tidak salah menyebut. Memang, sering karena gugup, selama ini banyak orang yang salah menyebut saat betemu jin karena panik. Contohnya minta Sugih Agung, minta kaya raya, eh karena gugup tersebutlah Sugih Idung. Tak ayal, yang meminta Sugih Agung pun akhirnya menjadi Sugih Idung, banyak hidungnya.
Tiga hari setelah bertemu jin, maka di wajah orang yang salah meminta itu tumbuh banyak hidung, benjelon-benjolan yang mirip hidung. Orang kampung pun menakamannya manusia seribu hidung. Jadi cacat seumur hidup hanya karena salah ngomong kepada jin.
“Ingat, berbicara yang jelas, minta yang tepat dengan ketenangan hati dan jiwa!” kata Mbah Kamil padaku. Alhamdulillah, karena belakangan jiwaku agak tenang dan berhasil menguasi emosi, maka permintaanku melalui lisan itu benar adanya. Aku meminta menjadi insinyur dan pengusaha konstruksi bangunan yang sukses di ibukota. Pintaku itu didorong oleh permintaan mama dan papaku yang menginginkan aku jadi insinyur dari perguruan tinggi ternama Jakarta dan menjadi usahawan konstruksi top di ibukota.
Setelah permintaanku itu diucapkan, Mbah Kamil memeluk aku dan Jin tembesu pun menghilang dalam hitungan detik. Beberasa saat kemudian, hujan reda dan kami beranjak pulang. Sesampainya di gubuk Mbah Kamil, jam di tanganku sudah menunjuk angka 04.00 dinihari. Habis sholat subuh berjemaah, aku pun pulang ke rumah orangtua berpamitan dengan Mbah.
Berangkat meninggalkan orangtua dan Mbahk Kamil, sungguh menjadi suatu beban yang berat bagiku. Tapi aku harus pergi demi masa depanku sebagai manusia biasa, yang tetap hidup layak di antara kerumunan komunitas manusia yang serba materialistik.
Mbah Kamil tidak menunjukkan tanda sedih, tapi aku menangis di pelukannya dan Mbah mengusap rambutku dengan membaca Allahu Akbar dan memantrai kepalaku saat menjelang detik-detik kepergianku meninggalkannya. “Yakinlah, bahwa Allah setiap saat melindungimu, Nak. Pergilah dengan kebesaran hati dan kelegaan jiwa dan ingatlah akan Allah Azza Wajalla dan berzikirlah setiap saat. Tuan Tembesu sebagai perantara Allah, akan segera memenuhi cita-citamu dan permintaanmu saat ritual beberapa waktu lalu!” pesan Mbah Kamil, dengan senyumnya yang khas, senyum wisdom, senyum kebijakan seorang sufistik yang anggun dan mempesona.
Allah Maha Pengasih, Allah Maha Penyayang, memberi apa yang kita minta dengan kesungguhan hati. Dan alhamdulillah aku dengan cepat menjadi sarjana dan selalu rengking satu di kampus dengan nilai the best of the best. Dalam waktu empat tahun aku sudah menjadi insinyur dan jadi uasahawan konstruksi bangunan. Kini aku sudah menjadi ahli konstruksi bangunan real estate dan membangun rumah-rumah kelas atas dan apartemen mewah di Jakarta. Bahkan sekarang usahaku berkembang di Vietnam, Laos, Kamboja dan Malaysia. Sesuai pesan Mbah Kamil, aku belum boleh bertemu dirinya sebelum sukses, maka aku mematuhi permintaan guru spiritualku itu.
Setelah enam tahun tidak jumpa dan tidak berkomunikasi, aku yang selama ini sangat merindukan Mbah Kamil, pulang dengan pesawat carteran ke Sumatera Selatan. Bersama mama dan papaku aku pergi ke Tanjungsakti ke rumah Mbah. Kami bertiga kaget setengah mati, ternyata rumah Mbah Kamil sudah tidak ada lagi dan kebunnya pun berantakan dengan ilalang.
Ke mana perginya Mbah Kamil? Duh Gusti, tak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya Mbah Kamil. Meninggal tidak, hidup pun tidak. Tapi berdasarkan saksi mata warga kampung sesama petani, mengatakan bahwa Mbah Kamil tidak terlihat baru satu tahun belakangan. Terakhir terlihat pergi ke hutan setelah merubuhkan rumahnya dan membakar bambu-bambu dan atap rumahnya itu.
Bersama mama dan papaku juga, aku pergi ke pohon tembesu tempat Setan Putih berdiam. Sesampainya di sana kami tidak menemukan apa-apa. Mama dan papa malah buru-buru minta pulang karena perasaan mereka menjadi gamang. Anehnya, aku tiba-tiba melihat gambar dan sosok utuh Mbah Kamil di pohon tembesu dan guruku itu melambaikan tangannya mengawai-awai agar aku mendekat.
Aku memeluk Mbah Kamil dan menangis sejadi-jadinya. Orangtuaku panik, bingung dan hampir menganggapku gila. Mbah Kamil ternyata muksa, dia menghilang di pohon itu dan berdiam di tempat, tidak hidup tidak juga wafat. Berdiam di situ selama-lamanya dalam waktu yang tidak terbatas.
Hanya Allah yang tahu dan semua itu sudah ditakdirkan dan diatur oleh AllahAzaza Wajalla. Pemuksaan itu menjadikan aku memahami, bahwa manusia saktimandraguna ini tidak ditakdirkan Tuhan meninggal, tapi tidak juga ditakdirkan untuk hidup lagi. Dia ada tapi sebenarnya sudah tiada. Tapi dari Jin Tembesu aku mendapatkan info gaib, dikatakan bahwa Mbah Kamil menjadi tiang penyangga langit.
Langit Sumatera Selatan akan tetap tegak disanggaan tangan Mbah Kamil. Gunung Merapi di Gunung Dempo tidak akan meletus sebelum tangan itu dilepaskan topangannya dari langit Sumsel. Bila tangan itu telah terlepas dan Mbah Kamil sudah meninggal permanen, maka barulah Gunung Merapi di Pagaralam, Lahat, Sumatera Selatan itu meletus dan langitpun menjadi panas, runtuh mencari korban manusia daerah sekitar.
Tapi kami semua berdoa, berdoa berharap agar topangan tangan Mbah Kamil ini tak terlepaskan sampai akhir zaman. Dan Gunung Merapi, tanah longsor, banjir, gempa vulkanik, gempa tektonik dan angin puingbeliung serta bencana alam yang ada selama ini, terhenti total. Bukan saja di sumatera selatan, tapi juga di seluruh nusantara kiwari. Amin!*