Mediametafisika - Langit tiba-tiba seakan runtuh dan bumi terasa terpecah saat aku mengetahui bahwa istriku, Sarah, 42 tahun, mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Jakarta Timur. Sarah menuntut cerai mendadak dan tergesa-gesa. Kenapa? Pertanyaan ini betubi-tubi menggebuki pikiranku, kenapa dan mengapa istriku yang lembut, yang baik, yang selama ini sangat sayang kepadaku juga pada anak-anak itu tiba-tiba menuntut cerai padaku. Padahal setelah kuingat-ingat dan kuteliti ulang, bahwa aku tidak bersalah sama sekali padanya. Mungkinkah Sarah punya pria idaman lain. Mungkinkah Sarah jatuh cinta lagi secara diam-diam dan jauh dari pemantauanku selama ini?
“Tidak, tidak ada pria idaman lain dan tidak ada laki-laki lain di dalam hidup saya. Tapi saya tidak nyaman lagi bersamamu, saya tidak senang lagi menjadi istrimu dan aku harus berpisah darimu dan hidup sendiri, entah di mana. Kuasailah rumah ini dan usruslah anak-anak dengan baik, aku akan pergi dan jangan kau cari ke mana dan di mana aku nanti!” desis Sarah, serius.
Karena tak tahu apa salah da apa masalahnya hingga istriku berubah total, aku segera mendatangi seorang psikolog beken Martha Pegagan untuk mencari tahu apa sebab sifat manusia tiba-tiba berubah. Analisa psikolog Martha Pegagan pun bertubi-tubi meluncur kepadaku. Tapi semua analisanya itu tidak masuk sama sekali ke dalam pikiranku. Sebab semua yang dikatakannya, tidak sesuai dengan kenyataan yang kuhadapi di diri Sarah. Sementara itu, Sarah yang kupaksa untuk datang ke Martha Pegagan, bersikeras menolak.
Dia tidak mau sama sekali bersamaku ke psikolog yang praktek di rumah sakit Dwipayana itu. “Tidak, tidak perlu kau bawa aku ke dokter. Apalagi ke seorang psikolog. Buat apa, buat apa? Secara medis maupun secara psikologis aku sehat kok, tidak ada penyakit pada diriku. Tuntutanku hanya satu, aku mau cerai denganmu, aku mau pergi dari rumah dan mencari kehidupan baru yang bisa membuat hidupku menjadi nyaman. Ya, Cuma satu yang aku tuntut, kenyamanan, ketenangan dan ketenteraman hidup. Nah, tiga hal itu tadi, saat ini sudah tidak aku dapatkan lagi darimu, dari rumah ini!” desisnya, pedas.
“Sarah, katakanlah, hal apa yang membuat kau tidak nyaman, tidak tenteram dan tidak tenang. Bila hal itu karena kesalahanku, mari kita bermusyawarah, kita bermufakat bersama. Bila ada hal yang kau yakini arena kesalahanku, aku minta maaf kepadamu. Aku akan merubahnya dan aku akan mengalah untuk mu. Pokoknya, yang penting janganlah kita bercerai. Kasihanilah anak-anak Sarah. Anak-anak masih kecil dan sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayangmu!” pintaku, berlutut kepadanya.
Jangankan mau memenuhi permintaanku, malah Sarah mendorongku hingga tubuhku terjatuh. Dia sama sekali menolak permintaanku bahkan dengan kasar meludahiku. Duh Gusti, batinku, setan apa yang merasuk ke diri istriku ini sehingga dia berubah total seperti ini? “Sarah, kau telah dirasuki oleh setan yang jahat, pastilah kau sedang dalam kendali iblis terkutuk. Sadarlah Sarah, sebagai orang yang beragama, sebutlah nama Allah, istigfar, ingatlah akan Allah, Sarah, ingatlah pada Tuhan dan wajah anak-anak kita! Kasihan anak-anak Sarah?” desakku, menghimbau kepadanya.
Sarah tetap beringas. Bahkan malam itu juga dia berlari pergi keluar rumah dan aku mengejarnya dari belakang. Sarah lalu mencegat taksi dan naik taksi itu ke arah barat. Aku pun mencegat taksi dan membuntuti taksi itu dari belakang. Sementara tiga anakku yang sudah terlelap di kamar mereka, kutinggalkan begitu saja dan aku tidak tahu apakah mereka terbangun nantinya. Bahkan karena terburu-buru membuntuti Sarah, sampai rumahku lupa untuk dikunci, walau sempat kurapatkan daun pintunya.
Taksi yang dikendarai Sarah masuk ke tol kota di pintu Cempaka Putih menuju Cengkareng. Taksiku juga masuk tol yang sama dan terjadi kejar-kejaran di jalan tol dalam kota itu. Tapi Sarah memerintahkan taksi nya untuk lebih cepat menuju bandara Soekarno-Hatta. Taksi itu bahkan masuk wilayah bandara dan berputar-putar lalu keluar dari pintu bandara di Kota Tangerang. Taksi itu lalu ke utara dan menuju ke daerah Pakuhaji, laut utara. Sesampainya di pohon mahoni tua umur ratusan tahun, taksi itu berhenti. Setelah membayar taksi, Sarah keluar sambil berlari kecil menuju sebuah reruntuhan bangunan tua di sebelah pohon mahoni tau itu. Akupun meminta sopir memberhentikan taksi dari kejauhan dan taksi kuminta menunggu beberapa saat. Aku segera membuntuti ke mana istriku pergi.
Arkian, ternyata pada reruntuhan bangunan tua itu terdapat keramat wingit. Ada kuburan yang sangat tua yang tidak terurus lagi oleh ahli warisnya. Keadaan di dalam reruntuhan itu sangat sepi dan sunyi, tidak nampak ada seorang pun di daerah itu. Sementara angin malam menerjang deras dari arah laut utara dengan sasaran pemakaman. Keadaan cuaca dinihari itu begitu dingin dan hujan gerimispun membasahi bumi sekitar. Aku mengintip pelan-pelan dengan menjinjitkan kakiku mendekati arah di mana Sarah masuk. Istriku itu ternyata berlutut dan menangis tersedu di satu batu nisan yang yang diterangi lampu lima watt. Walau lampunya cukup redup tapi aku dapat melihat sistriku itu bersujud seakan menyembah sesuatu di batu kuburan itu. “Sedang apa dia?” tanyaku di dalam batin.
Sarah nampaknya tidak mengetahui bahwa dia sedang dibuntuti. Aku bersembunyi di balik reruntuhan jendela dan mengintip terus ke arahnya. Setiap gerak-geriknya kuawasi dengan seksama, aku sangat penasaran mengapa dia dengan beraninya datang di tengah malam ke daerah itu, sendirian pula. Padahal selama ini Sarah itu sangat penakut, paranoid dan mudah was-was. Jangankan kepada hantu, genderuwo atau wewe gombel, pada tikus saja selama ini dia ketakutan. Tapi kali ini, dia kok menjadi tiba-tiba berani seperti itu. “Ada apa dengan istriku ini?” bisik hatiku, penasaran. Tapi Sarah tidak bergeming, dia terpaku kaku di kuburan itu dan terus menangis hingga pagi.
Beberapa saat kemudian, supir taksi mendekat. Nampaknya pengemudi itu penasaran sekaligus meragukan jangan-jangan aku kabur tak mau bayar ongkos taksinya. Tapi dia kudekati dan kuminta jangan berisik dengan kode kututupkan jari telunjukku di mulut agar dia diam. Kubilang kepada sopir itu supaya dia tidur saja di taksi, sedang soal biaya, gampang, berapa pun ongkosnya, akan saya bayar. Kuminta amper argo taksi itu dimatikan saja, nanti sesampainya di rumahku, akan kubayar ongkos keseluruhan berapapun yang dia minta. Sopir takasi bernama Taufik Hamid itupun, akhirnya mengerti dan dia ngeluyur menuju taksinya yang diparkir di bawah pohon mahoni tua.
Sarah terus terpaku di depan makam. Dengan sabar aku menunggunya hingga selesai melakukan ritual itu. Pada pukul 04.00 menjelang subuh, tiba-tiba dari tengah kuburan keluar asap tebal warna hitam yang menumpuk di tubuh Sarah. Duh Gusti, beberapa saat kemudian, dalam hitungan detik, asap itu berubah wujud seperti manusia yang bertubuh tinggi besar dan hitam. Wajah sosok itu terlihat olehku bertaring panjang, matanya bulat dan kupingnya bercabang dua. Dengan refleks aku mengucapkan astagfirullahalazim dan berkomat kamit mengucap zikir Allahhu Akbar, subhanallah dan semua doa-doa yang bisa kuucap. Jantungku berdetak hebat dan tubuhku merinding karena terguncang keadaan itu. Sarah lalu mencium kaki mahluk itu yang mirip kaki orangutan dan makin keras menangis.
Dengan dorongan batin terdesak, impulsif, aku segera mendekati dan berteriak menyebut nama Allah, Allah, Allahhu Akbar. Aku memohon pertolongan Allah untuk menyelamatkan Sarah dan aku. Alhamdulillah, Allah dengan cepat menolong kami, setidaknya aku di pagi buta itu. Mahluk itu langsung kembali menjadi asap dan masuk ke dalam kuburan. Sementara itu Sarah tidak lagi menangis dan aku menggendongnya menuju taksi. Tubuh Sarah sangat lemas dan lunglai seperti tak berdarah lagi.
Taufik si sopir taksi menolongku mengangkat istriku dan meletakkannya dalam gendonganku di jok belakang. Taksi kuminta dipacu cepat menuju rumahku di Rawamangun, Jakarta Timur. Dengan kecepatan rata-rata 100 km per-jam, Taufik dengan tangkas mengendalikan taksinya hingga sampai di rumah kurang dari satu jam. Taufik dengan tangkas turun membantu dan aku membuka pintu yang kebetulan memang gampang karena tidak terkunci. Sahabat pembaca mediametafisika.com Sesampainya di dalam, di ruang tamu, aku melihat tiga anakku menangis terguncang di ruang tamu. Mereka terbangun sekiatr pukul 02.00 tadi dan bingung mencari kami berdua. Tapi begitu melihat ibu mereka digendong dalam keadaan lemas, mereka bertiga menjerit. “Kenapa Mama, Pa, kenapa Mama?” tanya Ika, anakku tertua yang berumur sepuluh tahun. Sedangkan Mery, anakku yang berumur tujuh tahun dan duduk di kelas dua SD, hanya menangis dan tubuhnya mengigil karena terguncang melihat keadaan ibunya. Sedangkan Dika, yang masih di TK kelas nol kecil, umur empat tahun, menangis keras karena ketakutan.
Sopir taksi, Taufik Hamid nampak perhatian betul akan masalah kami ini. Dia meminta anak tertuaku, Ika untuk mengambil air putih di belakang dan Ika membantunya. Lalu Taufik Hamid menjampi-jampi air itu lalu meminta maaf kepadaku untuk membasuh wajah istriku yang pingsan. Puji Tuhan, dalam hitungan detik setelah Taufik Hamid mengusapkan air jampi-jampi itu, istriku, Sarah, langsung siuman dan seperti orang yang baru terbangun dari tidur dan bermimpi. Diam-diam, Taufik Hamid yang tamatan pesantren tapi gagal jadi kiyai itu, mempunyai ilmu Kanuragan dan mampu melihat sesuatu yang gaib, mahluk halus yang tidak terlihat oleh siapapun. Taufik menyebut, bahwa di kuburan tua Pakuhaji tadi, istriku bertemu dengan jin penghuni pemakaman tua itu dan mereka berpacaran. “Maaf Pak, saya sudah tahu sejak di pemakaman tadi bahwa ibu bertemu dengan bangsa jin yang jadi kekasihnya itu. Jin itu berjenis Jin Tomang, tubuhnya bisa sangat besar dan tinggi. Jin Tomang itu bisa setinggi tugu monas dan tubuhnya sebesar gunung. Tapi Pak, saya tidak mau sok tahu dan lalu ikut campur di dalam pemakaman tadi, karena saya berfikir bahwa bapak pastilah mampu karena bapak orang yang taat beribadah dan rajin berzikir. Zikiran bapak itu sangat alam dan saya yakin bapak selalu dalam perlindungan Allah Azaza Wajalla! Sekarang ini, kita mesti berdua secara bersama-sama menolong ibu keluar dari permasalahan ini,” terang Taufik Hamid kepadaku, berbisik-bisik.
Aku menerima semua usul dan saran Taufik yang berbasic ilmu Al Hikmah itu. Dengan bersama-sama kami melakukan zikir dan berdoa bersama setelah sholat subuh berjemaah. Anak-anak menjaga ibu mereka yang masih terbaring lesuh di ruang depan, sedangkan Ika terus memijit kaki mamanya yang masih terasa dingin dengan balsem. Pukul 06.00 saat matahri mulai mencorong di timur, tiba-tiba Sarah meronta-ronta membantingkandirinya ke dinding. Bantingan dirinya itu begitu kuat sehingga kami menjadi panik. Tapi Taufik Hamid dengan tetang menembakkan tangannya ke arah Sarah dengan mantra-mantra dari mulutnya yang tajam. Beberapa saat kemudian sarah menjadi tenang tapi bebalik menjadi Taufik Hamid yang berjungkir balik. Taufik berteriak keras seperti sedang bertarung dengan suatu kekuatan halus yang tidak terlihat secara kasatmata. Mantra-mantra yang dikeluarkan Taufik Hamid adalah mantra bebahasa Pegagan Lawas yang digali oleh taufik Hamid dari kampung halamannya di Ogan Komering Ilir.
Setelah terbanting-banting, Taufik hamid akhirnya memenangkan pertarungan. Pertarungan itu ternyata melawan jin Tomang yang pagi itu tidak terlihat oleh siapapun kecuali Taufik Hamid sendiri. Beberapa saat setelah Taufik Hamid menang, tiba-tiba genteng rumah pecah berantakan dan Jin Tomang hangus terbakar. Bekas bakaran itu tersisa di atap rumah kami dan rumah itu membutuhkan perbaikan besar karena berantakan total. “Jin Tomang itu sudah musnah dan ibu akan aman dan insya’ Allah akan selamanya keluarga menjadi tenang!” desis Taufik Hamid kepadaku.
Beberapa hari kemudian, Sarah bersamaku mencabut gugatan cerainya di pengadilan agama, Pulogadung, Jakarta Timur. Sarah kembali hidup normal dan cinta kami pun kembali bersemi. Bahkan, belakangan, kasih sayang Sarah kepadaku semakin besar apalagi terhadap anak-anak. Kami hidup berbahagia hingga tulisan ini diturunkan di majalah. Sementara itu Taufik Hamid yang sudah bersitri dan beranak dua, sudah menjadi bagian keluarga kami dan kami pun terus menerus hidup saling tolong menolong. Bahkan Hamid hingga sekarang masih menjadi sopir taksi dan menyusuri hidup dunianya dengan berdampingan nyaman bersama hidup sorgawinya sebagai seorang pakar ilmu Al Hikmah. Taufik Hamid mengaku bahwa dia menuju seorang sufi dan bila Allah merestuinya, dia akan segera menjadi seorang ahli ilmu tasawuf. Walau hanya sorgawi, tapi sebagai seorang ayah dari dua anak dan suami dari seorang istri, Taufik harus tetap menjalani pekerjaan sebagai pengendara taksi untuk biaya kebutuhan dunia orang-orang yang dicintainya.
Sementara itu, Sarah menceritakan bahwa selama ini dia rajin berziarah ke makam-makam aulia, para makam wali Allah di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten bersama jemaah pengajiannya. Memang Sarah selalu minta ijin padaku untuk berziarah ke mana saja bersama timnya, sekalipun lewat telpon bila aku berada di luar kota. Aku mendukung aktifitas itu sebagai aktifitas ibadah, di mana mereka mendoakan para wali dan minta berkah Allah melalui wali-wali yang keramat.
Tapi sayang, di antara sekian makam yang didatangi, ternyata ada satu makam yang ternyata bukan makam wali Allah. Makam yang didatanginya terakhir ternyata makam orang biasa yang ternyata semasa hidupnya adalah seorang pelaut asal Iran yang terdampar di laut utara Pulau Jawa. Karena makam itu dari abad 16 lalu dibangun dengan permanen, maka warga meyakini bahwa makam itu adalah makam wali Allah. Maka itu, jin jahat masih bisa bersemayam di situ dan saat istriku datang ke sana, dia jatuh cinta dan memilih istriku menjadi kekasih selingkuhannya. Sedangkan makam wali Allah asli, tidak akan dihuni oleh jin jahat. Jin yang ada memang banyak di makam wali tapi semuanya jin muslim yang terus berzikir kepada Allah dan mendokan pemakaman aulia yang dijaganya. Jin jahat dan kafir, kata Taufik Hamid, diharamkan oleh Allah untuk menghuni pemakaman para aulia dan wali-wali Allah.
Saat ini Sarah, istriku banyak di rumah. Namun pengajian malam jumat yang biasa dilakukan, tetap dijalani dan aku agak menjadi trauma untuk menginjinkannya ke makam-makam keramat. Taufik Hamid menasehatkan kepada istriku, bahwa mendoakan wali-wali llah tidak mesti harus datang ke makamnya. Doakan saja dari rumah dengan setulus dan sepenuh hati, insya Allah doa itu akan sampai kepada para wali Allah yang dituju. Sebut saja semua nama wali yang akan didoakan dan Allah SWT maha mengetahui dan maklum adanya. “Sama juga seperti kita mengirim doa untuk Rasulullah Muhamad SAW dan keturunannya, yang kita sebut di setiap kali berdoa dan insya Allah bila Tuhan mengijinkan, maka doa itu samapi kepada Baginda junjungan kita dan refleksinya lambat atau cepat akan kita rasakan!” pesan Taufik hamid kepada Sarah, istriku tercinta.*
sumber : majalah misteri